Apa Cuma Aku si Paling People Pleaser?
“Berhenti jadi yang semua orang suka.
Mulailah jadi orang yang kamu sendiri hormati.”
Selamat datang di klub besar para people pleaser, orang-orang yang (terlalu) ingin menyenangkan semua orang, kecuali diri sendiri.
Sadly, i was. Very long long long time ago. Saya lupa sejak kapan mulai jadi orang yang susah bilang “nggak.” Mungkin saat usia belum genap 12 tahun. Saat-saat mencari tempat di lingkungan, love-hate relationship dengan seorang teman karena tidak ada teman yang lain, daaann... seluruh alasan yang bermuara pada satu kesimpulan: takut kehilangan penerimaan. Terlebih lagi, setiap kali menurut dan berperilaku manis, orang-orang bilang, “Nah, gitu dong. Kamu baik. Kamu temanku.”
Sejak itu saya belajar bahwa kalau ingin disukai, saya harus menyenangkan semua orang.
Lucunya, banyak yang nggak sadar kalau mereka termasuk di dalamnya. Apa cuma aku, atau ternyata bukan cuma aku?
Kenapa Jadi People Pleaser?
Banyak psikolog menjelaskan bahwa perilaku people pleasing sering berakar dari masa kecil. Misalnya, anak yang tumbuh di keluarga dengan aturan ketat atau kasih sayang bersyarat. Kalau aku baik, patuh, dan nggak bikin masalah, aku akan disayang. Kalau sebaliknya, maka siap-siap dicuekin, dimarahi, atau dibanding-bandingkan.
Pola ini terbawa sampai dewasa. Hasilnya, otak belajar menyamakan “menyenangkan orang lain” dengan “keamanan emosional.” Inilah yang disebut conditioning, semacam pola bawah sadar yang terbentuk dari pengalaman berulang.
Secara psikologis, people pleaser juga sering kali:
-
Memiliki self-worth (harga diri) yang bergantung pada penerimaan orang lain.
Takut akan penolakan atau konflik, karena di masa lalu mungkin itu terasa seperti “hukuman.”
-
Mengembangkan fawning response, salah satu bentuk reaksi trauma selain fight, flight, freeze. Fawning artinya mencoba meredakan potensi bahaya (emosional atau sosial) dengan cara menyenangkan orang lain.
Jadi, orang-orang gini bukan karena seseorang lemah atau kurang asertif sih, jangan salah paham, ya. Tapi karena sistem sarafnya semacam terprogram untuk mencari keselamatan lewat penerimaan orang lain. Sedih yak, huhu.
Secara sederhana, people pleaser adalah orang yang terlalu sering berkata “iya” demi diterima, disukai, atau menghindari konflik. Tapi alasan di baliknya bisa berlapis-lapis. Beberapa yang paling umum:
-
Pola dari masa kecilBanyak people pleaser tumbuh di lingkungan di mana kasih sayang bersyarat. Akibatnya, mereka belajar bahwa menyenangkan orang lain = aman dan disayang dan pola pikirnya kebawa sampai dewasa.
-
Takut ditolak atau kehilangan hubunganCenderung menghindari konflik karena takut dianggap egois, kasar, atau nggak sopan. Padahal batasan yang sehat itu perlu.
-
Harga diri bergantung pada penerimaan orang lainKadang baru merasa berharga kalau ada yang bilang “terima kasih” atau “kamu baik banget.” Kalau nggak ada validasi itu, muncul rasa bersalah atau cemas.
-
Kebingungan antara empati dan tanggung jawabKarena sangat peka terhadap perasaan orang lain tapi sering lupa bahwa merasa kasihan bukan berarti harus bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain.
-
Kultur dan norma sosialDi budaya yang menekankan kesopanan, kepatuhan, dan harmoni sosial (seperti di Asia), sikap menyenangkan bisa dianggap “baik.” Tapi kalau berlebihan tentu jadinya melelahkan.
Yang rumit, people pleaser sering tampak baik di luar tapi di dalam bisa lelah, memendam marah, atau bahkan kehilangan jati diri karena terlalu sering beradaptasi dengan keinginan orang lain.
Masalahnya, Lama-lama Hilang Diri Sendiri
Kalau terus dilakukan, people pleasing bikin seseorang kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri. Lama-lama nggak tahu lagi aku sebenarnya maunya apa, ya? Semua keputusan diambil berdasarkan ekspektasi di luar diri sendiri.
Yang lebih bahaya, bisa muncul resentment alias perasaan kesal dan lelah yang terpendam. Tumpukan kelelahan emosional ini disebabkan terus-menerus menekan diri sendiri demi harmoni.
Makin dewasa, saya akhirnya pelan-pelan belajar, nggak semua “iya” adalah bentuk kebaikan, dan nggak semua “tidak” berarti kejam. Berani bilang tidak justru tanda kita menghormati diri sendiri.
Bagaimana Berdamai dengan Pola Ini
-
Sadari tanpa menghakimi.Nggak perlu menyalahkan diri karena terlalu baik. Pola ini muncul karena dulu pernah berusaha bertahan. Sekarang cuma perlu belajar cara baru untuk tetap aman tanpa harus kehilangan diri sendiri.
-
Latih berkata “tidak” dengan empati.“Terima kasih udah percaya sama aku, tapi kali ini aku belum bisa bantu, ya.”Kalimat seperti ini tetap sopan, tapi menjaga batas.
-
Bangun ulang hubungan dengan diri sendiri.Tanyakan hal-hal sederhana:
-
Aku sebenarnya suka atau nggak sih melakukan ini?
-
Aku melakukannya karena ingin, atau karena takut?
-
-
Terapi atau journaling bisa membantu.Psikolog sering membantu menggali akar rasa takut di balik kebiasaan pleasing ini dan menanamkan cara berpikir baru yang lebih sehat, seperti self-compassion dan assertive communication. Coba deh bikin jurnal semacam written pensieve gitu kayak blognya punya Imawati Annisa dan tuangkan rasa apa pun di dalamnya.
-
Belajar duduk di rasa tidak nyaman.Menolak orang bisa bikin canggung, tapi itu bagian dari tumbuh. Nggak semua orang harus suka kamu, itu wajar dan baik-baik saja.
Menjadi orang yang baik itu bukan berarti selalu menyenangkan semua orang kok. Being nice itu bagus, tapi tetap harus punya batasan yang jelas. Susah awalnya emang, serba gak enakan tapi bisa kok dilakukan.
Termasuk menolak kerjaan kantor yang sebetulnya bisa kita batasin itu juga bentuk menghargai diri sendiri lho. Bahkan jadi remote worker pun, itu bisa banget kita cut off tugas-tugas di luar yang sudah masuk jadwal task sebelumnya.
Jadi, mulai hari ini, nggak apa-apa kok kalau nggak bisa selalu jadi “the nice one.” Karena keberanian untuk berkata tidak adalah bentuk cinta diri yang paling tulus.







