Drama Sekolah Tiap Tahun itu Bernama Pemilihan Korlas dan Komite

Bulan Juli tiba waktunya tahun ajaran baru, daaan ada satu tradisi yang selalu datang tanpa perlu diumumkan secara resmi: pemilihan koordinator kelas dan komite sekolah. Ini nggak tahu sih awal mulanya gimana, atau siapa yang ngide (pakai bahasa anak jaman sekarang).

Pokoknya begitu anak-anak saya sekolah, tradisi ini udah ada... dan saya nggak ingat waktu saya dulu sekolah ada apa tidak ya, kayaknya mungkin ada, tapi nggak seintens sekarang karena belum ada Whatsapp grup.

Momen menegangkan ini biasanya dibuka dengan sapaan ringan di WAG, entah yang isinya guru+wali murid atau yang isinya wali murid saja. Sehabis perkenalan masing-masing biasanya diakhiri dengan jeda hening yang mencurigakan. Semua orang tampak online, tapi tak satu pun mengetik.

Ah, ini sih sudah pasti sinyal dimulainya musim pemilihan peran sosial yang kadang lebih tegang dari seleksi Piala Dunia. 

Ritual Tahunan Bernama “Pemilihan”

Pemilihan koorlas (koordinator kelas) dan komite sekolah ini seperti semacam drama sosial tahunan. Mekanismenya jauh lebih sederhana daripada Pilkada, bahkan bisa jadi terlalu sederhana:

  • Pemilihan langsung di grup WA, tanpa diskusi panjang. Seseorang menyebut nama, lalu dibanjiri komentar “Setujuuu 🙌” atau “Mantap, Bu!”

  • Rekomendasi diam-diam dari guru, disampaikan dengan kalimat lembut seperti, “Kami harap ada orang tua yang bersedia aktif…” yang sebetulnya berarti: Silakan Anda, ya, Bu.

  • Undian atau rotasi, yang terlihat adil tapi tetap saja bisa membuat yang terpilih merasa seperti kalah arisan.

  • Popularitas, terutama jika ada sekelompok wali murid berasal dari TK yang sama. Cukup mengantongi 3-4 orang massa, bisa menggiring massa lainnya menyetujui nama yang diajukan. Biar cepet, yekaaaann. 

Yang menarik, hasil akhir dari semua itu biasanya ada satu nama yang akhirnya ‘terjebak’, meski dengan helaan napas dan senyum getir.

Kenapa Bisa Jadi Polemik?

Karena jadi korlas atau komite sekolah itu aslinya bukan cuma jadi perantara pesan. Tugasnya sering kali lebih kompleks daripada jabatan manajer proyek, misalnya:

  • Menyampaikan informasi sekolah ke 30-an wali murid, memastikan terbaca dan dipahami 

  • Mengingatkan dan menagih iuran kas, tentu saja jadi rekening penampung

  • Menginformasikan acara sekolah yang melibatkan orang tua, seperti rekreasi atau bazar sekolah 

  • Sampai menghidupkan whatsapp grup untuk meminta pendapat, dan partisipasi aktif dari semua wali murid (yang sejujurnya sering bikin gemaaasss).

Itulah kenapa, banyak wali murid memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu persis beban yang menyertai jabatan itu. Nggak ada bayarannya pula. 

Tidak semua orang punya waktu, energi, atau ketahanan mental untuk menghadapi 30 wali murid dengan karakter unik dalam satu kelas. Belum lagi kalau ada isu sensitif soal pungutan, sumbangan, atau perayaan, korlas dan komite bisa jadi sasaran samsak pertama. 

Polemik makin muncul kalau pemilihan dianggap tidak transparan, atau selalu jatuh ke orang yang “itu-itu saja”. Di sinilah muncul perdebatan soal peran orang tua dalam pendidikan anak vs. keterlibatan sosial yang tidak semua orang inginkan.

Jadi membingungkan nggak, sih? Ditunjuk nggak mau, mengajukan diri juga nggak mau, tapi kalau ditunjuk secara aklamasi juga banyak bisik-bisik tetangganya. Yhaa, begitulah seni bermasyarakat...  

Ada yang Tulus, Ada yang Terjebak

Ada banyak alasan kenapa ibu-ibu bersedia jadi korlas atau komite, atau apalah intinya jadi yang ngurusin kelas, gitu. Nggak usah dinyinyirin "kok mau-maunya sih jadi korlas", atau menganggapnya nggak ada kerjaan banget, pengangguran, atau pengen eksis apalah. 

Sure, saya sering menemukan celetukan-celetukan ini di Threads dan sosmed lainnya. Kordinator sekolah/komite dilabeli ibu rumah tangga gak ada kerjaan. Entah apa yang dilakukan korlas anaknya sampai mereka seapatis itu, tapi memang korlas tuh ada banyak jenisnya juga. 

Ada yang memang senang aktif jadi pengurus ini itu sehingga nggak bisa kalau diam saja melihat 'apa yang harusnya bisa diorganisir'. Ada yang cari kegiatan ketimbang gogoleran aja di rumah mending jadi bermanfaat sekalian antar jemput anak. Ada lagi yang senang bergaul, punya teman nongkrong sana-sini, eksis di semua acara sekolah. 

Semua valid kok alasannya. Yang penting tugas korlasnya berjalan aja, sesuai namanya: ngurusin kelas. 

Saya pernah tanya ke seorang teman yang jadi korlas dengan semangat, padahal dia working mom dan punya tiga anak.

Dia menjawab, “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau? Anggap saja ini bagian dari mendampingi anak. Lagipula, aku suka ikut-ikut ginian.”

Ada juga yang ambisius ingin selalu jadi korlas di semua jenjang anaknya. Harus jadi ketua pokoknya! Entah karena doyan ngatur atau punya pengaruh, atau ada motif bisnis di baliknya. Pokoknya dia harus jadi center yang ngatur kelas. 

Namun di sisi lain, saya juga pernah menemukan ibu-ibu yang baru pindah dari kota besar, dari sekolah di kota yang karakternya aktif dan kritis, pindah ke sekolah di daerah malah “ditodong” jadi komite karena dianggap “berani dan kelihatan aktif”.

“Padahal aku cuma rajin baca chat dan bertanya, biar nggak ketinggalan. Kan aku baru di sini,” katanya pasrah. Kelihatannya sih ini lebih 'dijerumuskan' ya ketimbang benar-benar dipilih. 

Saya sendiri, selama jadi kordinator kelas di angkatan 12 dan angkatan 14 di SD anak-anak saya, nggak jauh beda sama ibu yang di atas ini, wkwkwk. Sebagai pendatang, wajar kalau banyak tanya, dan mau nanya ke siapa lagi, kan, selain langsung ke grup? Tapi dianggapnya yang aktif-aktif ini cocok untuk "ditumbalkan", hahahaha. 

Kebetulan aja sudah biasa berorganisasi/berkomunitas kan, jadi nggak gagap-gagap amat lah meski nggak punya massa karena nggak punya geng teman lama kayak ibu-ibu lain. Mulai dari awal dan asing, yasudah gimana lagi  ^_^

Haruskah Semua Orang Tahu Diri?

Idealnya, semua orang tua terlibat aktif dalam kegiatan sekolah. Tapi realitanya tidak semua punya kapasitas yang sama. Ada yang bisa bantu tenaga, ada yang bisa bantu dana, ada yang cukup bantu memberi respon baik dengan tidak mengeluh terus-menerus di grup.

Sesederhana memilih suvenir untuk anak-anak, kalau korlasnya minta tolong polling pilihan ya mbok ikut memilihkan, dengan kasih pertimbangan. Korlas tuh pasti bingung mau mutusin sendiri nggak mungkin, tapi nunggu masukan ibu-ibu kadang lamaaa banget didiemin. Sedih dan capek, buuu.... 

Mungkin sebetulnya yang dibutuhkan organisasi wali murid ini bukan sekadar korlas dan komite baru, tapi kultur baru: kerja sama orang tua yang setara, saling mendukung, tanpa harus menjadikan satu atau dua orang sebagai tokoh sentral.

Biasanya kalau semua wali murid bisa berpartisipasi setara, nggak akan ada orang-orang yang 'mendadak ngartis' atau jadi si paling sibuk sedunia. 

Tips Pemilihan Korlas 

Kalau kamu kebetulan jadi bagian dari tim sekolah atau pengurus komite yang baru, mungkin tips ini bisa membantu proses pemilihan agar lebih sehat dan adil:

  1. Libatkan semua orang dari awal, bukan dadakan dan bukan karena “kelihatannya cocok”.

  2. Gunakan polling atau voting kecil, biar semua punya suara dan rasa memiliki.

  3. Jelaskan tugas dan peran secara terbuka, supaya yang terpilih tahu apa yang akan dijalani.

  4. Bagi peran dalam tim, bukan hanya satu orang yang bekerja, sementara yang lain diam-diam menonton (ssstt, mending kalau nonton aja, kadang sambil dighibahin

Idealnya sih ya, ketika sudah ada korlas terpilih, ya sudah, wali murid komit semua untuk membantu korlas tersebut. Bantuan bisa berupa apa pun, baik masukan, tanggapan, dana, tenaga. Hargai kesediaannya untuk mengordinir kelas yang tidak mudah ini. Kelas yang diampu kan ada anak kita juga di dalamnya. Jadi anggap aja kita sedang ikut mengasuh anak kita dan teman-temannya. 

Tips Survive jadi Korlas

Sisa periode saya tinggal 2 tahun lagi jadi korlas si anak ketiga yang sekarang kelas 5. Sejak anak sulung SMP, saya tidak ambil bagian apa-apa lagi dalam kepengurusan kelas. Selain mobilitas juga tidak fleksibel (jarak rumah-sekolah jauh, punya toddler), yaa rasanya sih mikirin satu anak abege aja sudah pusing banget. Nggak sempat lagi mikirin anak orang. 

Saya juga nggak tahu selama ini sudah cukup baik jadi korlas atau belum. Saya cuma sangat berterima kasih pada ibu-ibu wali murid yang kooperatif ketika diminta masukan dan bantuan. Kerja sama  inilah yang bikin kerja korlas jadi lebih ringan. Nggak cuma saya sendirian yang sibuk, tapi kita semua mengasuh anak sama-sama. 

Tipsnya sih simpel-simpel aja dan sudah saya buat carouselnya di Instagram. Paling penting adalah komitmen dan konsisten. 

Pemilihan koordinator kelas dan komite sekolah bukan kompetisi, bukan jebakan, dan bukan tugas abadi. Tapi sayangnya, kadang-kadang kita memperlakukannya seperti itu.

Kalau kita bisa membangun rasa tanggung jawab bersama, tidak perlu lagi ada drama di balik “siapa yang jadi korlas tahun ini”. Dan yang terpenting, tidak perlu lagi ada wajah lelah di balik senyuman palsu saat menerima jabatan.

Karena jadi orang tua di era sekarang sudah cukup kompleks. Jangan sampai kegiatan sekolah jadi tambahan tekanan, padahal seharusnya jadi ruang tumbuh bersama.

Previous Post
3 Comments
  • Dee_Arif
    Dee_Arif 22 Juli 2025 pukul 08.34

    Aduh, mbak Rella aja sudah mengalami tiap tahun ya
    Aku nampaknya ini akan jadi tahun pertama, bagaimana ada pemilihan korlas dan komite
    Semogga berjalan smooth, nggak banyak drama..

  • Dyah Kusuma
    Dyah Kusuma 22 Juli 2025 pukul 08.58

    Super melelahkan, tahun lalu aku korlas di kelas anakku yang tengah, asli capeknya, untungnya ada beberapa mama yang mau bantu jadi aku ga kerepotan sendirian, secara aku kan juga kerja ya

  • dinda
    dinda 22 Juli 2025 pukul 13.54

    Hahaha... ini pernah terjadi satu tahun yang lalu mbak El...
    Tapi aku mundur. Pengalaman sebelumnya tuh pas anakku TK A, merasa ditumbalkan dengan menjadi koordinator eksul menggambar, hanya karena satu alasan sepele, "nanyanya detail beud." padahal ya tujuannya nanya perkara biar anakku tuh nggak gupuh ae pas acara. Lha kok pas pemilihan langsung disodorin nama begitu... Hahaha.. Untung cuma satu tahun.

    Jujur aku lebih prefer jadi anggota aja sih, alias jadi check and balance kegiatan kelas. Meskipun ada positifnya juga jadi korlas kek misal kita tahu acara ABC bakal bikin anggaran mbledos, bisa kita sounding tipis-tipis buat alternatifnya. Hehehe.. :D

Add Comment
comment url