Kenapa Ibu-Ibu Harus Tetap Punya Teman
Ini sebenarnya tulisan klasik, isu yang sudah di mana-mana dibahas, juga sudah banyak sekali awareness tentang pentingnya menjadi diri sendiri bagi seorang ibu.
Aslinya saya sedikit ketrigger juga saat menulis ini. Semacam ada trauma calling. Ngalamin banget soalnya perasaan kesepian ini yang aduh, nggak sanggup dijelaskan panjang lebar yaa cuma bikin nyeri di dada aja.
Sekarang saya bisa menulis ini dengan lebih lapang dan objektif. Jadi semoga nggak ada lagi ibu-ibu yang ngerasa sendirian dan hidupnya berhenti sejak jadi ibu. Peluk semua ibu di duniaaa...
Ya, nggak dipungkiri satu fase dalam hidup seorang perempuan yang diam-diam mengubah segalanya, yaitu ketika ia menjadi ibu. Tiba-tiba waktu terasa padat, dunia mengecil di antara rumah, dapur, dan kamar anak. Grup WhatsApp yang dulu ramai dengan gosip ringan kini digantikan oleh grup wali murid dan info diskon popok. Kadang tanpa sadar, kita berhenti punya teman, setidaknya teman yang benar-benar teman.
Padahal, ibu juga manusia. Butuh tawa, butuh tempat curhat, butuh didengarkan tanpa dihakimi. Dan di sinilah pentingnya ibu-ibu harus tetap punya teman.
1. Karena obrolan dengan anak balita tak bisa menggantikan obrolan dengan manusia dewasa
Coba jujur, kapan terakhir kali ngobrol dengan orang dewasa tanpa disela kalimat, “Mamaaa, aku pup!” atau “Ma, lihat aku jadi Spiderman!”?
Menjadi ibu membuat kita terbiasa berbicara dalam mode 'pendidik kecil' yang sabar, lembut, penuh pengulangan. Tapi setelah berjam-jam berhari-hari berkomunikasi dengan manusia mini terus, kepala bisa terasa kosong, energi habis terkuras, dan jiwa yang burn out.
Ngobrol dengan teman seumuran, meski cuma ngobrolin tentang drama Korea atau resep ayam mentega, bisa jadi semacam penyegaran otak. Ada tawa yang lepas tanpa harus berhati-hati, ada topik yang nggak selalu berujung pada parenting atau tekstur pup anak. Kadang itu aja sudah cukup kok untuk menormalkan mood seharian.
2. Karena teman membantu kita merasa “masih ada”
Percaya atau enggak, saya pernah lupa gimana tanda tangan saya sendiri saking lamanya nggak membubuhkan otoritas diri sendiri pada suatu hal. Sedih banget...segini hilangnya kah identitas ini??
Teman bisa bilang, “Eh, kamu dulu jago banget gambar, kenapa nggak lanjut?” atau “Kamu masih suka baca novel nggak sih?”
Pertanyaan sederhana seperti itu kadang bisa menyalakan kembali sisi diri yang lama tertidur.
Dengan teman, kita diingatkan bahwa kita bukan hanya ibu, tapi kita juga perempuan, manusia, individu yang punya minat, impian, dan opini sendiri.
3. Karena curhat bisa jadi bentuk self-care paling murah
Spa, pijat, atau staycation memang menyenangkan, tapi tidak selalu bisa dilakukan. Kadang cuma butuh satu kopi dan satu telinga yang benar-benar mendengarkan untuk membuat hati terasa ringan.
Teman yang baik tahu kapan harus memberi saran, dan kapan hanya perlu bilang, “Ya ampun, iya sama aku juga gitu banget!”
Obrolan ringan seperti ini punya efek terapeutik. Psikolog menyebutnya emotional validation, ketika perasaan kita diakui dan diterima tanpa disalahkan. Dan buat ibu yang sering merasa gagal, ini sangat berharga.
Curhat ke teman itu seperti me-reset perasaan. Setelahnya, kita bisa pulang lagi ke rumah dengan hati lebih tenang dan energi yang diperbarui.
4. Karena tidak semua hal bisa diceritakan ke pasangan
Cinta itu penting, tapi bukan berarti pasangan harus jadi tempat curhat untuk semua hal. Kadang kita hanya butuh seseorang yang mengerti sisi perempuan, bukan sekadar solusi logis ala “ya udah, tinggal tidur aja, nanti juga hilang capeknya.”
Teman perempuan paham kode-kode emosional yang tak perlu dijelaskan panjang. Mereka tahu kenapa anak tetangga udah bisa baca bisa bikin insecure, atau kenapa suami nggak sadar potongan rambut baru bisa sedikit mengusik.
Bahkan keinginan kita untuk cari penghasilan buat jajan sendiri juga enaknya diomongin sama teman, untuk tahu ide bisnis yang cocok apa. Kalau sama pasangan kan bisa jadi dilarang duluan atau pasangan merasa tersinggung karena dianggap kurang provide, padahal kan nggak gitu maksudnya.
Teman sesama ibu bisa jadi cermin yang jujur tapi empati. Mereka nggak menertawakan kekacauan kita, karena mereka juga pernah ada di titik itu.
5. Karena punya teman berarti punya sistem pendukung
Ibu yang punya teman lebih kuat menghadapi stres. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa dukungan sosial bisa menurunkan risiko depresi pasca melahirkan dan meningkatkan kesejahteraan emosional.
- Yang bantu ngabarin anak di sekolah kalau ada apa-apa
- Yang mengirimkan screenshot resep MPASI saat kita bingung.
- Yang kirimin postingan kuliner-kuliner yang perlu dicoba
- Yang ternyata punya blog bisnis kece, bisa banget di-ATM kesuksesannya
Dalam dunia yang sering membuat ibu merasa sendirian, kehadiran teman bisa jadi jangkar yang menjaga kita tetap waras.
7. Karena teman bikin hidup terasa lebih ringan
Jadi, punya teman bukan berarti melupakan keluarga. Justru sebaliknya, itu cara kita mengisi ulang diri agar bisa kembali menjadi versi terbaik dari ibu yang keluarga butuhkan. Yang penting, kita tahu batasan dan komitmen dengan batasan itu.







