Pachinko, Sejarah Keluarga Lintas Generasi
“History has failed us, but no matter.”
Sebagai pembuka, kalimat ini menurut saya sangat powerful. Menggambarkan keseluruhan isi novel karya Min Jin Lee, yang menceritakan kisah panjang tentang keluarga Korea yang hidup dalam bayang-bayang penjajahan, diskriminasi, dan pencarian martabat di negeri orang. Pachinko bukan hanya novel epik history, tapi cerita tentang usaha manusia yang bertahan di tengah dunia yang tak ideal.
![]() |
| photo from carrousel |
Latar Belakang Sejarah
Min Jin Lee menulis Pachinko selama hampir 30 tahun. Risetnya panjang, dalam, dan pasti melelahkan. Konon, ia terinspirasi dari pengalaman nyata keluarga-keluarga Korea yang hidup di Jepang, terutama generasi yang disebut Zainichi Koreans, orang Korea yang bermigrasi atau lahir di Jepang tapi tak diakui sepenuhnya oleh negara itu.
Ceritanya dimulai di Korea awal 1900-an, masa ketika semenanjung Korea masih berada di bawah penjajahan Jepang (1910–1945). Kehidupan rakyat saat itu berat: kemiskinan merajalela, pendidikan sulit dijangkau, dan identitas nasional ditekan. Bahasa Korea bahkan dilarang digunakan di sekolah-sekolah. Dalam situasi itu, banyak orang Korea mencari harapan baru dengan bermigrasi. Sebagian ke Manchuria, sebagian ke Jepang, meski kehidupan di rantau pun belum tentu lebih baik dan mereka tetap dipandang rendah.
Itulah dunia tempat Sunja, tokoh utama novel ini dilahirkan. Ia tumbuh di Busan, di sebuah penginapan kecil yang dikelola oleh ibunya, bersama sang ayah yang cacat tapi penuh cinta. Hidup mereka sederhana dan lurus-lurus saja sampai suatu hari di usia mudanya, Sunja jatuh cinta pada seorang pedagang kaya bernama Koh Hansu.
Bisa dibilang, Sunja jatuh bucin pada Koh Hansu yang begitu menawan. Cinta itu, seperti sejarah yang menaungi mereka, tidak berakhir manis seperti yang diharapkan. Saat tahu bahwa Hansu sudah beristri, Sunja mendapati dirinya hamil yang merupakan sebuah aib besar di masa itu.
Tapi, Hansu menghilang.
Di tengah kekecewaannya, seorang pendeta muda bernama Baek Isak datang, melamar Sunja, dan membawanya ke Jepang. Di sinilah cerita perjalanan panjang keluarga ini dimulai, bukan menuju kebahagiaan, tapi menuju perjuangan yang tak ada habisnya.
Kisah Perjalanan Lintas Generasi
Pachinko bukan kisah cinta biasa. Ia berkembang menjadi saga lintas generasi yang mengikuti keluarga Sunja selama lebih dari 80 tahun, dari masa penjajahan hingga masa modern Jepang. Dalam empat bagian besar, Min Jin Lee menelusuri bagaimana keturunan Sunja berusaha menemukan tempat mereka di dunia yang tidak pernah benar-benar menerimanya.
Di Jepang, keluarga Baek hidup sebagai imigran miskin. Mereka menghadapi diskriminasi sosial dan hukum sehingga tak bisa mendapatkan pekerjaan layak, perumahan, atau bahkan status kewarganegaraan. Anak-anak Sunja tumbuh dalam dilema: apakah mereka harus berpegang pada identitas Korea yang membuat mereka terpinggirkan, atau berasimilasi dengan masyarakat Jepang demi kehidupan yang lebih mudah?
Salah satu anak Sunja, Noa, menjadi simbol dari konflik itu. Ia pintar, sopan, dan ingin hidup “seperti orang Jepang.” Sekilas Noa adalah harapan baru keluarga. Tapi ketika tahu bahwa ayah biologisnya adalah Koh Hansu (yang kemudian diketahui seperti apa sosoknya), dunia Noa runtuh. Ia merasa tak punya tempat di mana pun, dan kisahnya menjadi salah satu bagian paling pilu dalam novel ini.
Sementara anak lainnya, Mozasu, mengambil jalan berbeda. Dengan karakter yang berani dan berapi-api, ia terjun ke bisnis pachinko, permainan judi populer di Jepang, yang kemudian jadi sumber kekayaan keluarganya.
![]() |
| permainan pachinko |
Sebetulnya nggak ada info kenapa Min Jin Lee memilih Pachinko sebagai judul novelnya. Sangat-sangat nggak bisa ditebak isinya apa, karena kemunculan pachinko ini juga jauuuuhh di dalam cerita, kok nggak sampai-sampai ke pachinko-nya gitu.
Hidup keluarga Sunja berubah total. Ia kini punya kekuatan untuk menolak apa saja yang berpotensi merenggut kebahagiannya. Termasuk Hansu yang kembali dari masa lalu, meski selama ini tidak pernah benar-benar berlalu.
Cerita yang Kuat tentang sebuah Martabat
Gaya Penulisan dan Kekuatan Emosi
Min Jin Lee menulis Pachinko dengan gaya naratif yang tenang tapi menghantam. Ratusan halaman nggak banyak bumbu atau filling cerita melainkan semua elemennya penting. Tidak ada melodrama berlebihan, tapi justru di situ letak kekuatannya. Ia membiarkan emosi tumbuh perlahan, kadang bikin yang baca iba, nggak lama kemudian kesal, tapi nggak jarang juga kecewa dengan keputusan para tokoh-tokohnya.
Ini juga yang jadi alasan kenapa saya selalu gagal menulis cerita fiksi. Karena saya mau segala sesuatunya ideal, yang mungkin jadinya flat, kurang mengaduk emosi pembaca. Ada rasa bersalah kalau bikin tokoh yang menyebalkan tuh, ahahahahaahh.
Meski menghadirkan banyak tokoh dan rentang waktu panjang, Pachinko tuh menghanyutkan. Kita seolah menjadi bagian dari keluarga itu, seperti ikut berdesak-desakan di rumah sempit mereka, ikut menahan napas saat didiskriminasi, dan ikut bangga saat mereka berhasil menegakkan kepala.
Yang menarik, novel ini juga memadukan fakta sejarah dengan kisah fiksi secara mulus. Tak terasa seperti membaca buku sejarah, tapi begitu menutup halaman terakhir, kita sadar telah memahami sesuatu tentang politik, kolonialisme, dan bagaimana orang-orang bertahan hidup.
Kenapa Pachinko Layak Dibaca
Di tengah maraknya kisah-kisah instan yang mudah viral, Pachinko adalah pengingat bahwa cerita besar butuh kesabaran dan empati. Novel ini mengajak kita menengok kembali bagaimana sejarah membentuk manusia bukan hanya lewat perang dan kekuasaan, tapi lewat dapur sempit, kerja keras ibu, dan keputusan kecil yang mengubah nasib generasi.
Min Jin Lee menulis dengan hati, dan hasilnya adalah kisah yang universal: tentang cinta, kehilangan, dan perjuangan menemukan martabat di dunia yang sering tak adil. Belakangan, saya baru tahu juga kalau Min Jin Lee ini seorang penulis perempuan berdarah Korea-Amerika (jujur aja sebelumnya nggak nyari tahu sampai menulis review ini).
Novel Pachinko masuk dalam 10 Buku Terbaik New York Times 2017 dan media lainnya seperti BBC dan CBC. Kemudian diadaptasi menjadi serial drama oleh Apple TV+ pada 2022 yang dibintangi oleh Lee Min Ho dan Kim Min Ha. Sudah pada nonton? Nanti saya tulis juga deh reviewnya, biar rajin kaya Rani Noona.
Buat pembaca yang mencari cerita dengan latar belakang sejarah, Pachinko adalah pilihan yang tepat. Kalimat pembukanya teraplikasikan di akhir cerita, bahwa kadang sejarah memang gagal memahami kita, tapi bukan berarti kita berhenti berjuang.
Juga buat para pecinta sageuk modern seperti Mr.Sunshine, Jeongnyeon: The Star is Born dan judul-judul lain yang bisa disearch di blog review drakor, dracin, dan dorama, nonton serial Pachinko sangat direkomendasikan. Meski nggak sebooming yang diharapkan, tampilan visual dari sebuah cerita patut dicoba, dan sampai saat ini masih nunggu kelanjutannya entah bakal diproduksi atau enggak.










