Hak Masyarakat Adat dan Deforestasi Sumber Pangan



Saya sangat menyukai ragam kuliner nusantara dari Sabang sampai Merauke. Selalu ada nilai kebajikan dan kearifan lokal yang terkandung dalam setiap sajian hidangan asli nusantara. Mulai dari sumber bahannya, namanya, sampai cara memasaknya. 

Lalu, apa hubungannya kuliner, hutan, dan masyarakat adat? 

Jika ditelusuri asal muasalnya, masakan tradisional nusantara ini merupakan produk budaya masyarakat adat yang kemudian turun menurun hingga sampai di meja makan masyarakat umum. Biasanya, kuliner nusantara memiliki bahan dasar pangan yang berasal dari hutan. Bagi masyarakat adat, hutan adalah sumber kehidupan, baik pangan, sandang, dan papan.  

Gudeg, Produk Kuliner Hasil Pangan Hutan 


gudeg
Gudeg nangka. Sumber: Selerasa

Kita pasti sudah sering dengar, kan, tentang filosofi nasi tumpeng yang merupakan representasi hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga dengan sesamanya. Tetapi, apa ada yang tahu tentang filosofi sejarah gudeg? 

Kisah gudeng sendiri diceritakan dalam Serat Centhini yang ditulis oleh Paku Buwana V di tahun 1600an. Dalam Serat Centhini, dituliskan bahwa makanan tradisional adalah wujud hasil bumi yang menjadi hidangan dalam berbagai situasi, seperti perjamuan tamu, upacara adat, dan gotong royong. 

Konon, gudeg tercipta saat dibukanya lahan hutan Mentaok untuk dibangun Kerajaan Mataram. Saat itu, banyak pohon nangka dan juga pohon kelapa yang ditebang untuk mendirikan pemukiman dan bangunan keraton. Buah nangka muda yang masih menempel di pohon yang jatuh kemudian diolah menjadi makanan yang dinamakan gudeg, yang kemudian menjadi menu utama masyarakat Mataram kala itu. 

Gudeg terlahir di zaman di mana nangka muda masih belum banyak dilirik untuk dijadikan bahan pangan. Nangka muda hanya dijadikan alternatif pengganjal perut di kala sulitnya mencari bahan makanan yang layak saat itu. Karena sifatnya yang belum empuk seperti nangka matang, maka dalam memasak nangka muda memerlukan waktu yang lama untuk menjadi gudeg empuk dan manis seperti sekarang. 

Menarik bukan, bahwa sedari dulu, bahan pangan kuliner nusantara sumbernya ada di hutan dan kekayaan alam yang merupakan tanah-tanah ulayat (beschikkingsrecht), yaitu hak masyarakat adat yang merupakan sumber kehidupan bersama yang secara kolektif dimiliki, dikelola, dan dipertahankan keberlanjutannya. 

Hutan sebagai Hak Masyarakat Adat 


dampak deforestasi
Sumber: greeners.co

Mari batasi definisi dulu tentang masyarakat adat (indigenous people) untuk membedakannya dengan yang lain. Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta nilai. 

Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. 

Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sumber pangan, sumber sandang, sumber pengobatan, dan sumber pengetahuan. Hutan berfungsi sebagai sekolah sekaligus supermarket alami untuk keberlangsungan hidup.

Unik diketahui, bahwa budaya menyimpan bahan pangan ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Eropa saja melainkan masyarakat adat Indonesia sudah melakukannya sejak berabad tahun lalu hingga sekarang. Dengan pengetahuan sederhana, masyarakat tradisional sudah berpikir jauh tentang menyimpan hasil panen di lumbung-lumbung pribadi atau komunal. Mereka menyimpannya sebagai bekal persediaan hingga musim panen selanjutnya atau persediaan untuk menghadapi musim paceklik.

Kuliner Nusantara yang Terancam oleh Deforestasi 

Tempo hari, saya sempat membaca artikel tentang kuliner Nusantara yang tengah menghadapi ancaman kepunahan akibat deforestasi yang merenggut hak masyarakat adat di Indonesia secara berangsur-angsur. Semula saya berpikir, hak apa yang hilang dari penebangan atau kebakaran hutan dan hubungannya dengan kuliner? 

ragam kuliner nusantara
Masyarakat adat Banten Kidul. Sumber: Wikicommons

Ahh, akhirnya saya paham. 

Bahwa merupakan kesia-siaan ketika berbicara tentang kebanggaan atas keanekaragaman masakan nusantara sementara laju deforestasi di negeri sendiri tak bisa dihentikan. Sebab, bagaimana kuliner bisa terus terjaga kelestariannya jika sumber bahan pangannya saja sudah tidak ada? 

Wah, saya ngeri sendiri membayangkannya bahwa kekayaan kuliner nusantara pun ikut terdampak dari menipisnya hutan sebagai supermarket alam. Dari mana kita akan mendapat mbothe sebagai bahan membuat keripik talas yang gurih dan renyah itu? Ke mana lagi mencari sagu untuk bahan membuat kue talam yang lembut dan manis kesukaan tua muda? Bagaimana nasib papeda, sambal kecombrang, dan yang lainnya? 

Sejarah manis tentang gudeg mungkin tak lagi terulang ketika hak-hak masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan sulit dipertahankan, tanah-tanah ulayat kini banyak beralih fungsi menjadi pusat hiburan atau komersial. Tidak saja sumber pangan, tapi juga tempat tinggal yang ikut terenggut. 

Hal-hal lain yang menjadi akibat laju deforestasi adalah perubahan iklim, wabah, dan bencana alam. Tak ada satupun aspek kehidupan manusia yang luput dari dampak deforestasi. 

Tindakan untuk Melindungi Hak Masyarakat Adat 

Saat ini, perlindungan terhadap hak masyarakat adat dikawal oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang merangkul 2.366 komunitas adat yang ada di Indonesia. Secara kasat mata pun, kita tahu bahwa masyarakat adatlah yang paling mengalami kerugian atas politik pembangunan dan turunannya seperti deforestasi. 

Jika saya menjadi pemimpin negeri ini, saya akan membuat kebijakan yang lebih ketat dan segera mengesahkan RUU Tentang Masyarakat Adat yang sudah sedemikian lama terbengkalai di meja parlemen.

RUU Masyarakat Adat
Sumber Gambar : Tirto.id

Mengakui saja tidak cukup jika tidak diiringi tindakan yang nyata. Dalam RUU tersebut, perlu ditambahkan klausul pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat.

Pembatasan pembukaan lahan harus gencar dilakukan. Tak ada yang boleh mengusir masyarakat adat atas ruang hidupnya. Dengan memperketat regulasi, tingkat pembalakan liar, pembukaan lahan semena-mena bisa diminimalisir dan dikaji dari berbagai aspek.

Saat ini, peran generasi muda bisa lebih besar lagi dan lebih mudah dilakukan karena akses informasi yang semakin luas. Perhatian anak muda terhadap isu-isu lingkungan dan kebudayaan grafiknya menunjukkan kemajuan. Mereka akan saya rangkul untuk saling bersinergi memahami hak-hak masyarakat adat atas habitatnya, mempertahankan kelangsungan hidupnya, yang sekaligus juga ikut melestarikan sumber pangan kuliner nusantara. 

Kelak, saya harap tidak ada lagi peminggiran masyarakat adat yang terjadi karena alasan pembangunan. Bukankah dalam sustainable development goals (SDG's) sudah disepakati, bahwa salah satu dari 169 capaiannya adalapembangunan untuk keselamatan manusia dan planet bumi?
Next Post Previous Post
26 Comments
  • Sarah Jalan
    Sarah Jalan 20 November 2020 pukul 10.51

    Saya sebagai masyarakat kecil yang tak mengerti undang undang perlindungan masyarakat hanyalah bisa berdoa memang hak masyakarat adat ini mendapat perhatian, mereka juga harus bisa hidup dengan tenang, nyaman didaerahnya..

  • Manik Swadiaya
    Manik Swadiaya 21 November 2020 pukul 06.14

    foto pertama makanan idola aku saat ke yogya, duh sudah kangen banget sama tuh daerah, BTW Seuju aku jika ada aturan jelas agar menjadi identitas dan kebanggaan suatu daerah, tak diambil alih orang apalagi negara lain

  • Dwi Puspita
    Dwi Puspita 21 November 2020 pukul 17.02

    Setuju mbak, padahal kebanyakan makanan adat produksinya dari hutan ya, yg saya suka seperti papeda. Seharusnya semua masyarakat pun harus menjaga akan kelestarian hutan

  • Fenni Bungsu
    Fenni Bungsu 21 November 2020 pukul 17.12

    Hak masyarakat adat memang harus jelas dan tegas aturannya agar hak-haknya nggak tergerus. Semoga dapat solusi terbaik ya soal RUU tersebut

  • Iim Rohimah
    Iim Rohimah 21 November 2020 pukul 20.30

    Setuju sekali, Kak... Kita harus turut melestarikan budaya leluhur dan menjaga lestari masyarakat adat. Budaya adat dan masyarakatnya adalah aset bangsa juga yang sangat vital. Itu bagi saya juga merupakan identitas kita ya.

  • Yuni Handono
    Yuni Handono 22 November 2020 pukul 06.06

    Masyarakat adat harus diupayakan tetap lestari ya mbak. Upaya pembukaan lahan hutan memang mengancam keberadaan masyarakat adat. Padahal masyarakat adat ini sangat membantu kelestarian hutan...inilah yang harus diupayakan agar keberadaan mereka tetap lestari agar kekayaan alam negara kita tidak punah. Semoga pemimpin-pemimpin kita bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat adat ya mbak.

  • Bambang Irwanto
    Bambang Irwanto 22 November 2020 pukul 06.26

    Saya baru tahu tentang sejarah gudeg, Mbak Rella. Padahal saya suka makan gudeg hehehe. Dan memang banyak sekali kuliner nusantara yang bahannya bersumber dari alam. Misalnya sagu. Dan memang kita harus bijak untuk ikut tetap menjaga dan meelstarikan alam. Karena ada kehidupan masyarat lain juga di sekitar itu.

  • Sulis Nashwa
    Sulis Nashwa 22 November 2020 pukul 06.45

    Wah ternyata ada cerita tersendiri yang melatarbelakangi lahirnya makanan gudeg ini. Benar banget nih, hutan harus kita lindungi. Sebab hutan memberikan banyak hal buat kehidupan manusia. Maka memang selayaknya hutan harus kita jaga dan rawat

  • Heizyi
    Heizyi 22 November 2020 pukul 07.22

    Masyarakat adat itu pada dasarnya adalah warisan budaya. Keunikannya, ya tradisi nya, hingga kuliner nya pun punya cita rasa istimewa.

    Sayangnya, semakin kesini, masyarakat adat semakin tersingkir. Parahnya lagi oleh bangsa sendiri ☹️

  • Jiah Al Jafara
    Jiah Al Jafara 22 November 2020 pukul 09.23

    Yuk mari jaga hutan! Hutan milik bersama termasuk masyarakat adat. Jadi kita harus sama-sama jaga biar anak cucu tetap bisa menikmatinya

  • Rani Yulianty
    Rani Yulianty 22 November 2020 pukul 15.52

    Saya suka gudeg khas Jogja, rasa manis legitnya selalu ngangenin, ternyata sejarah kuliernya sangat panjang ya

  • Yanti Ani
    Yanti Ani 22 November 2020 pukul 18.47

    Ternyata gudek ada sejarahnya juga ya mba, etapi betul banget kalau kita tidak konsisten menjaga kelestarian hutan bukannya dampak bagi lingkungan ya juga bagi sumber bahan makanan kita sendiri. Jadi selaras ya bangga dgn kuliner nusantara dan menjaga hutan juga

  • Susana Devi Anggasari
    Susana Devi Anggasari 22 November 2020 pukul 18.51

    Saya pernag tinggal setahun di Ende, NTT. Di sana nuansa adat masih kental. Bahkan pembebasan lahan untuk pembangunan sekolah bisa menjadi pelik karena adat. Namun, sisi baiknya, hutan dan kekayaan alam begitu terjaga. Saya salut sekaligus takjub, Mbak.

  • Lidya Fitrian
    Lidya Fitrian 22 November 2020 pukul 19.44

    Aku belum tahu sejarah tentang gudeg sebelumnya. Ternyata mengandung makna sendiri juga ya makanan tradisional yang satu ini yaotu sebagai wujud hasil bumi yang dijadikan hidangan.
    Sayang sekali kalau sampai makanan tradisional ini hilang, tapi betul juga kita harus menjaga sumber bahan pangannya juga supaya tidak hilang.

  • Eri Udiyawati
    Eri Udiyawati 22 November 2020 pukul 20.22

    Waah, baru tahu nih tentang sejarah gudeg dari awalnya. Saya tahunya saat ini bisa menikmatinya dengan enak dan lezat. Hahaha.

    Kadang miris juga sih, kita bangga akan kuliner nusantara yang beraneka ragam, tapi di sisi lain hak adatnya tergerus karena perubahan jaman dan Deforestasi.

    Saya berharap semoga hak-hak dilindungi, karena itu juga untuk masa depan bangsa kita.

  • Dani Ristyawati
    Dani Ristyawati 22 November 2020 pukul 20.54

    Sedih kalau denger kabar penebangan hutan secara liar makin marak, kasihan para masyarakat adat yang sudah mati-matian menjaga kelestarian hutan

  • Nusantarakreatif.id | Putri Santoso
    Nusantarakreatif.id | Putri Santoso 22 November 2020 pukul 21.13

    suka miris kalau melihat hutan yang dibuka untuk kepentingan masyarakat.
    karena disadari atau tidak kita hidup berdampingan dengan alam. gimana kalau suatu saat alam murka dan terjadi bencana? misalnya saja yang sudah langganan, banjir
    btw kak, makasih loh tulisannya membuka pikiran aku banget. bahwa ada dampak lain deforestasi ini, bahkan sampai mengancam keaneka ragaman kuliner nusantara

  • K. Niken
    K. Niken 22 November 2020 pukul 21.24

    Udah berapa tahun aku nggak makan gudeg. Auto ngiler lihat fotonya.
    Jadi kangen emak di kampung (eehhh.... kangen gudeg jogya) wkwkwk.

    Di Malang sebelah mana yang jual gudeg ya?

  • Diah Alsa
    Diah Alsa 22 November 2020 pukul 23.03

    baru tahu lho sejarah Gudeg itu.
    Kakakku paling doyan makan gudeg, secara dia lama tinggal di Jogja jadilah suka dengan gudeg.
    dari hutan memang banyak menghasilkan kuliner-kuliner yang super lezat yang harusnya bisa jadi kebanggaan kita.
    isu lingkungan saat ini memang yang paling banyak diminati, semoga sih kedepannya semua juga sadar untuk selalu menjaga lingkungan sebagai warisan untuk generasi selanjutnya :)

  • Diah Alsa
    Diah Alsa 22 November 2020 pukul 23.22

    baru tahu nih sejarahnya gudeg.
    Kakakku tuh doyan banget ama gudeg ini.
    sekarang isu lingkungan memang lagi sedang naik daun, semoga semakin banyak yang perhatian terhadap lingkungan agar bisa jadi warisan yang berharga buat generasi mendatang :)

  • Akarui Cha
    Akarui Cha 24 November 2020 pukul 15.06

    Sebagai masyarakat awam yang nggak paham paham amat tentang bagaimana cara kerja pemimpin kita dalam menyikapi masalah deforestasi yang tiada henti ini,hanya berharap agar hak ulayat adat kembali dipertimbangkan, bukan hanya urusan investasi. Sebab kemajuan bukan hanya tentang membangun tapi juga melestarikan.

    Tulisan yang bagus sekali. Senang bisa berkunjung ke mari.

  • Santi Suhermina
    Santi Suhermina 25 November 2020 pukul 08.38

    Ingat Jogja ya ingat gudeg. Ternyata ide adanya gudeg terinspirasi manfaatin bejibunnya nangka muda di hutan mentaok saat pembukaan kesultanan Mataram. Tambah wawasan lagi nih, semoga gudeg dan kuliner khas nusantara lainnya masih bisa dinikmati oleh anak keturunan kita ya. Tentunya kalo masih hutan dan tanamannya bisa terjaga. Semoga RUU masyarakat adat ini bisa menjadi produk hukum yang bisa menjadikan hutan berikut kearifan masyarakat adatnya bisa terjaga selamanya.

  • Mutia Nurul Rahmah
    Mutia Nurul Rahmah 26 November 2020 pukul 10.38

    Terimakasih untuk penjelasannya kak, aku masih belajar mengenai masyarakat adat ini dan skrg semakin paham arahnya kemana

  • Artha Nugraha Jonar
    Artha Nugraha Jonar 26 November 2020 pukul 20.57

    Kalau di pulau Jawa, masihkah ada masyarakat adat ya? Padahal masyarakat adat ini melestarikan budaya bangsa Indonesia. Dan memang benar, masyarakat adat harus mendapatkan perlindungan yang tegas dari negara.

  • Alma Wahdie
    Alma Wahdie 30 November 2020 pukul 23.30

    Masyaallah kak, keren sekali niatannya. Mau bikin RUU yang pro sekali dengan adat masyarakat. Semoga ya keinginan hati ini bisa terwujud. Aaamin

  • Mengatasi Screen Recording iPhone
    Mengatasi Screen Recording iPhone 31 Desember 2022 pukul 16.52

    Saat hutan sehat dan terjaga binatang tidak akan lari ke pemukiman dan warga setempat tetap dapat hidup seperti sediakala.

Add Comment
comment url