Membesarkan Anak dengan Nilai Supaya Nggak Jadi Pejabat Ngawur
Agustus 2025, hanya beberapa hari setelah Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya, kini kembali penuh dengan suara demonstrasi.
Anak muda, mahasiswa, hingga masyarakat turun ke jalan, memadati gerbang parlemen. Tuntutannya jelas, agar wakil rakyat di Senayan lebih peka terhadap kondisi riil bangsa yang sedang carut marut.
Di satu sisi, rakyat sedang bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, lapangan kerja yang seret, dan biaya hidup yang makin berat. Belum lagi beban pajak yang belum tentu balik modal menjadi fasum yang dinikmati masyarakat. Di sisi lain, berita tentang fasilitas mewah, tunjangan melimpah, dan gaya hidup elite politik membuat jurang perasaan makin lebar dan tak terjangkau.
Sebagai orang tua, ada rasa getir saat menyaksikan ini. Pertanyaannya sederhana: kalau di level pemimpin bisa lahir perilaku yang jauh dari rasa keadilan rakyat, bagaimana kita sebagai orang tua bisa memastikan anak-anak kita tidak tumbuh jadi bagian dari lingkaran itu?
Ingat, pejabat adalah cerminan rakyatnya.
Maka jawaban dari pertanyaan di atas adalah: pendidikan nilai sejak dini. Harapannya, jika rakyatnya sudah jadi "orang bener", maka output yang dihasilkan juga adalah para pejabat, pemimpin, dan wakil rakyat yang "juga bener".
Kejujuran: Bukti Awal dari Pendidikan Anti-Korupsi
Kejujuran bukan sekadar tidak berbohong. Ia adalah fondasi dari kepercayaan. Anak yang berani mengakui kesalahan, meski kecil seperti menumpahkan susu, sedang belajar satu hal penting: kata-katanya bisa dipercaya.
Kita bisa mulai dari hal sederhana: ketika anak menyontek PR dari internet, ajak ia diskusi. Katakan bahwa kemampuan sejati lahir dari usaha, bukan dari jalan pintas. Dengan begitu, anak belajar bahwa jujur itu memang kadang berat, tapi selalu lebih mulia.
Menurut Psikolog Ratih Zulhaqqi, S.Psi., M.Psi., kejujuran yang ditanamkan sejak kecil dalam keluarga bisa menjadi benteng pertama untuk mencegah perilaku korupsi di masa depan. Ketika anak berani mengakui kesalahan dan orang tua merespon dengan menerima serta mencari solusi bersama, itu bukan sekadar tentang ubah perilaku, tapi membentuk karakter yang tahan godaan korupsi.
Parenting masa kini juga menyepakati bahwa ketika anak ketahuan berbohong, orang tua sebaiknya merespons dengan tenang dan bijak. Bukannya langsung memarahi atau melabeli sebagai pembohong karena hal itu justru meningkatkan kemungkinan mereka terus berbohong. Interaksi ini jadi momen penting untuk menanamkan nilai kejujuran secara lembut.
Integritas: Konsisten antara Ucapan dan Tindakan
Kalau jujur adalah bicara apa adanya, integritas adalah hidup apa adanya. Ini yang sering hilang di ruang-ruang politik kita. Anak perlu tahu bahwa integritas berarti tidak hanya berkata benar, tapi juga bertindak sesuai nilai itu. Semua nilai ini menjadi antitesis dengan perilaku para elit di kabinet dan wakil rakyat di DPR saat ini.
Kita bisa mencontohkan lewat hal kecil: kalau kita bilang akan main bersama sepulang kerja, usahakan untuk benar-benar melakukannya. Anak belajar dari keteladanan, bukan ceramah. Konsistensi orang tua adalah pelajaran integritas yang paling kuat.
Kementerian Pendidikan menggarisbawahi: integritas mencakup kejujuran, konsistensi, dan komitmen terhadap nilai etika. Anak akan meniru apa yang mereka lihat—bukan hanya apa yang didengar.
Dan seperti yang pernah dikatakan penulis Jim Fay dalam Parenting with Love and Logic:
“Generally, honesty is conveyed to our kids through our actions, not our commands. We need to step back and analyze the model we are presenting to our kids.”
Rasa Adil: Seimbang dan Proporsional
Demo hari ini salah satunya berangkat dari rasa ketidakadilan: rakyat yang pontang-panting, sementara pejabat hidup berlimpah. Anak perlu mengerti sejak dini bahwa adil bukan berarti semua orang mendapat hal yang sama, melainkan setiap orang mendapat apa yang seharusnya.
Contoh praktis: ketika anak punya adik yang masih kecil, berikan perhatian sesuai kebutuhan. Kakak mungkin merasa iri, tapi jelaskan bahwa adik butuh bantuan lebih banyak. Begitu pula sebaliknya, ketika kakak sudah besar, dia punya tanggung jawab lebih. Dari rumah, anak belajar bahwa adil itu proporsional, bukan seragam.
Orang tua hendaknya menjelaskan alasan secara masuk akal ketika memberi kebijakan berbeda pada tiap anak. Berikan pengertian bahwa masing-masing tanggung jawab dan kebutuhan anak ada porsinya masing-masing sesuai jenjang dan usianya.
Tidak mudah untuk adil selama jadi orang tua. Kecenderungan subjektif pasti ada, diiringi rasa bersalah karena tahu itu tidak seharusnya. Tapi, sebisa mungkin kita juga belajar untuk adil dan proporsional kepada anak.
Kapabilitas, Pasang Niat Baik dengan Skill Nyata
Nilai-nilai moral akan lebih sempurna dengan kemampuan dan kapabilitas untuk menghadapi tantangan nyata, supaya bukan cuma melakukan hal yang benar, tetapi bisa melakukannya dengan baik.
Dalam konteks demonstrasi hari ini, kita menyadari bahwa kritik saja tidak membuat perubahan kecuali diikuti dengan kapasitas untuk merencanakan, memimpin, dan bertindak nyata. Baik untuk kedua belah pihak, ya rakyatnya, ya pejabatnya.
Mari jujur, banyak masalah bangsa bukan hanya soal moral, tapi juga soal kapasitas. Kita ingin anak-anak tumbuh selain jujur dan adil, tapi juga kompeten. Karena pemimpin yang berintegritas sekalipun bisa kelabakan kalau tidak punya kemampuan.
Mendorong anak belajar sungguh-sungguh, mengasah keterampilan, hingga berani menghadapi tantangan adalah bagian penting. Misal mulai dari menuliskan buah pikiran, misal kalau senang dengan keuangan ya menulislah sebuah blog tentang keuangan. Nanti jejak pemikirannya menjadi dasar untuk generasi selanjutnya seperti kita lihat Tan Malaka atau Pram.
Hal ini akan membentuk pola pikir yang solutif dan komprehensif. Paham substansi, dan bisa mengelaborasi solusi.
Komunikasi Empatik: Fondasi Hubungan Sehat
Mengutip teknik komunikasi dari psikolog Haim Ginott, yang menjadi guru bagi banyak pakar parenting modern:
- “Never deny or ignore a child’s feelings.”
- “Only the behavior is treated as unacceptable, never the child.”
- Anak perlu tahu bahwa dia dicintai, bukan karena berperilaku sempurna, tapi apa adanya—kesalahan yang dia buat wajib dibahas, bukan disalahkan secara personal.
Pendekatan seperti ini membangun rasa aman dalam keluarga. Kalau anak merasa bisa mengakui kesalahan tanpa takut dihukum berlebihan, integritas dan kejujuran justru tumbuh alami.
Demo dan keresahan rakyat hari ini mungkin terasa jauh dari ruang keluarga kita. Tapi sebenarnya, masa depan yang lebih baik justru dimulai dari ruang paling kecil itu. Dari meja makan, dari obrolan sebelum tidur, dari contoh kecil keseharian.
Kalau kita berhasil membesarkan anak yang jujur, berintegritas, adil, dan punya kemampuan, kita sedang menanam benih pemimpin masa depan yang tidak buta terhadap penderitaan rakyat. Mereka mungkin bukan duduk di kursi DPR, tapi bisa jadi guru, dokter, pengusaha, penulis dengan blog gaya hidup, atau warga yang aktif menyuarakan kebenaran.
Pada akhirnya, bangsa yang sehat bukan hanya diukur dari siapa yang berdiri di podium, tapi juga dari jutaan anak yang dibesarkan dengan nilai-nilai benar di rumah. Dan di situlah, peran kita sebagai orang tua terasa paling nyata.
Dalam masa ketika rakyat menuntut wakilnya untuk peka, jujur, dan adil, peran kita sebagai orang tua sangat strategis: kita sedang mencetak generasi yang tidak hanya menuntut perubahan, tetapi menjadi agen perubahan itu sendiri. Anak yang tumbuh berintegritas, adil, cakap, dan tangguh akan jadi tulang punggung masyarakat yang tidak majikan elit, tapi pemimpin yang merakyat.