#KaburAjaDulu, Mau Ke Mana Sih?

Setiap generasi punya cara masing-masing untuk mengekspresikan keresahannya terhadap fenomena kehidupan, sosial, pergaulan, percintaan, atau dalam konteks lebih luas seperti nasionalisme. 

Kalau dulu orang tua kita mungkin hanya menggerutu di warung kopi, anak-anak sekarang menuliskan keresahan itu lewat tagar di sosial media, dan salah satunya yang sedang ramai adalah #KaburAjaDulu.

Kedengarannya sepele, seperti status iseng. Tapi kalau direnungkan lebih jauh, ini bukan sekadar “kabur,” melainkan pertanyaan besar: Apakah masih ada masa depan yang bisa kita perjuangkan di sini, atau kita harus mencarinya di tempat lain?

Apa sih #KaburAjaDulu itu?

Ini adalah hashtag yang viral sejak Februari 2025 di platform seperti X, TikTok, dan Instagram. Netizen yang didominasi generasi muda (milenial-gen z), memakainya untuk mengekspresikan keinginan sementara pergi dari Indonesia demi mencari kesempatan yang lebih baik di luar negeri.

Tren ini lahir dari kegelisahan atas kondisi sosial-ekonomi dalam negeri: biaya pendidikan yang mahal, lapangan pekerjaan minim, gaji stagnan, pemangkasan anggaran, PHK massal, dan layanan publik yang terganggu.

Dr. Hempri Suyatna (UGM) menilai tagar ini sebagai bentuk kritik dan ekspresi satire generasi muda terhadap pemerintah yang dianggap "kurang hadir," terutama di sektor pendidikan dan inovasi. Kalau yang pergi bisa kembali dengan pengalaman, itu bisa jadi peluang positif. Tapi kalau nggak? Bisa jadi tantangan serius buat Indonesia. Sementara itu, Tadjudin Nur Effendi (UGM) mengatakan, “Kabur bukan berarti tidak cinta Indonesia. Mereka berharap bisa pulang kembali saat situasi lebih membaik”.

Mau Kabur ke Mana, Sih?

“Kabur” di sini bukan berarti lari terbirit-birit tanpa arah. Kebanyakan yang mempopulerkan tagar ini membayangkan pergi ke luar negeri untuk kuliah, kerja, atau sekadar mencari suasana hidup yang dianggap lebih tertata. Negara-negara tujuan biasanya yang sudah familiar: Jepang, Korea, Australia, Singapura, bahkan Eropa dan Amerika. Alasannya jelas: kesempatan kerja lebih banyak, gaji lebih layak, fasilitas publik lebih rapi, dan ada kepastian hukum. Hal-hal yang negara ini taken for granted pada warga negaranya. 

Namun, kabur juga bisa bermakna sederhana kok. Jargon slow living kini makin bergaung seiring terlalu penatnya hidup di kota-kota besar apalagi ibu kota. Kabur juga bisa jadi pindah ke kota lain, memulai bisnis kecil, atau menata hidup jauh dari hiruk pikuk politik dan biaya hidup Jakarta. Intinya: mencari ruang bernapas.

Keuntungan Kalau “Kabur”

Sebetulnya masih perlu ditulis nggak sih? Jelas ada banyak sekali keuntungan atau kelebihan kalau kita berhasil #KaburAjaDulu tuh. Tapi mungkin buat yang masih mager-mager, bisa lho baca ini: 
  1. Peluang lebih luas
    Bekerja atau sekolah di luar negeri membuka jaringan internasional, skill baru, dan pengalaman hidup yang sulit didapat kalau hanya “stay” di zona nyaman. Biaya pendidikan di luar negeri pun tidak semahal di dalam negeri jika dikonversi ke mata uang setempat. 

  2. Penghasilan lebih baik
    Realitanya, gaji di beberapa negara bisa 2–5 kali lipat dibanding Indonesia, bahkan untuk pekerjaan yang dianggap biasa seperti helper di restoran. Coba sering simak kontennya @teddymci yang terkenal dengan jargonnya "Hei, orang Indonesia yang lama tinggal di luar negeriii.. say whaatt??" you'll be amazed deh sama gaji-gaji di luar yang membuat ingin komentar: pantas aja kalau udah di luar males pulang ke Indonesia lagi. 

  3. Kualitas hidup
    Transportasi umum yang aman, layanan publik yang jelas, serta standar hidup yang lebih stabil sering kali menjadi alasan utama. Iya, ini banget! Kemudahan hidup yang diimpi-impikan warga negara ini.  

  4. Belajar mandiri
    Hidup jauh dari keluarga memaksa kita lebih tangguh, lebih disiplin, dan biasanya membuat pola pikir jadi lebih terbuka.

Kekurangannya Juga Ada

Yah, nggak bisa dipungkiri kalau ada hal-hal yang mesti kita korbankan juga apabila memutuskan #KaburAjaDulu. 

  1. Rasa kehilangan dan kesepian
    Tinggal jauh berarti siap rindu rumah, rindu keluarga, dan sering merasa “asing” meski sudah lama menetap.

  2. Biaya awal yang tidak kecil
    Untuk kuliah, visa, bahkan sekadar ongkos keberangkatan, perlu modal besar. Tidak semua orang bisa menyiapkan itu dengan mudah. Ini diaa yang sebagian besar masih  jadi kegalauan kita semua. 

  3. Risiko gagal beradaptasi
    Bahasa, budaya, hingga tekanan kerja di luar negeri bisa sangat berbeda. Banyak juga yang akhirnya pulang lebih cepat karena tidak tahan.

  4. Brain drain untuk Indonesia
    Kalau terlalu banyak generasi muda pergi dan tidak kembali, kita berisiko kehilangan sumber daya manusia yang seharusnya membangun negeri sendiri. Does it really worth? Bagaimana masa depan Indonesia?

Kalau Mau Kabur, Apa Persiapannya?

Kabur itu bukan perkara lempar koper, beli tiket, lalu hidup tiba-tiba membaik. Ada serangkaian hal yang perlu disiapkan, dan semuanya menuntut kesabaran.

Pertama, tentukan tujuan dengan jelas. Apakah kaburnya untuk melanjutkan kuliah, mencari kerja, atau sekadar “menyembuhkan diri” lewat gap year? Tujuan ini akan menentukan jalur yang ditempuh. Misalnya, kalau mau kuliah, berarti harus riset universitas, beasiswa, sampai dokumen akademik. Kalau tujuannya kerja, berarti perburuan lowongan, pembuatan CV internasional, dan urusan legalitas kerja harus dipikirkan sejak awal.

Kedua, lengkapi bekal keterampilan. Bahasa asing jadi tiket utama. IELTS, TOEFL, JLPT, TOPIK—nama-nama tes itu bukan sekadar akronim, tapi pintu gerbang yang akan memudahkan hidup di negeri orang. Selain bahasa, keterampilan teknis juga penting. Seorang barista dengan sertifikat internasional, misalnya, punya peluang lebih besar dibanding yang hanya bermodal pengalaman lokal.

Pikirkan skill yang bisa longlasting. Misal mau balik ke Indonesia, nanti ada yang dibawa dari hasil kabur ke luar dan bisa dimanfaatkan di sini. Syukur-syukur bisa buka lapangan kerja baru. 

Ketiga, siapkan finansial dengan realistis. Kabur itu mahal. Tiket pesawat, biaya visa, deposit sewa tempat tinggal, sampai biaya hidup bulan pertama sering kali bikin kantong kaget. Idealnya, tabungan cukup untuk bertahan setidaknya enam bulan, supaya nggak panik kalau pekerjaan atau sekolah belum mulus di awal.

Keempat, latih mental sebelum berangkat. Banyak yang gagal bukan karena kurang pintar atau miskin modal, melainkan karena kaget menghadapi kesepian, tekanan kerja, atau diskriminasi budaya. Mental baja ini bisa dibentuk dengan banyak membaca pengalaman orang lain, ikut komunitas diaspora online, atau bahkan sekadar latihan hidup mandiri jauh dari keluarga di dalam negeri dulu.

Biasakan membuat jurnal selama di perantauan. You know, banyak banget gunanya suatu saat nanti. Bisa jadi jurnal perjalanan maupun jurnal kehidupan yang bisa jadi memori dan pelajaran untuk dibaca suatu saat nanti. Blogger Surabaya pernah bahas hal-hal ini di sebuah grup, dan saya pikir, ini penting banget bukan sekadar menandakan kita eksis dan masih hidup tapi juga pastikan selama hidup kita meninggalkan jejak. 

Kelima, pikirkan rencana pulang. Mungkin terdengar jauh, bahkan ironis—karena namanya juga “kabur.” Tapi rencana pulang penting supaya kabur ini bukan lari tanpa arah. Pulang dengan membawa modal, ilmu, atau sekadar jaringan kerja bisa menjadikan “kabur” sebagai fase berharga, bukan sekadar pelarian.

Tapi kalau memilih nggak akan pulang (dan sudah  banyak juga yang begini), it's okay... asal, cinta dan kepedulian terhadap Indonesia mestilah ada. Itu bukti bahwa kita tetap punya manfaat untuk lingkungan dari mana kita berasal. 

Jadi, Kabur atau Bertahan?

Pada akhirnya, #KaburAjaDulu adalah refleksi tentang pilihan. Kabur bisa jadi solusi sementara untuk menyelamatkan diri dari rasa jenuh atau situasi yang tidak ideal di tempat sebelumnya untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Tapi kabur juga bisa menjadi jalan panjang untuk menggapai mimpi.

Yang terpenting bukan “kaburnya,” melainkan bagaimana kita ditempa untuk menjadi pribadi yang resilien, baik kabur ke negeri orang atau betahan di negeri sendiri. Karena di manapun kita berada, kesuksesan hidup juga ada di tangan kita sebagai individu. Mau berkembang atau tidak, mau mengutuk kegelapan atau jadi pengalir cahaya?

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url