Review Buku Down and Out in Paris and London - George Orwell


Edisicetakan pertama
PenerbitYogyakarta : Shira Media,, 2023.
Deskripsi Fisikvi, 318 halaman ; 19 cm.
ISBN9786238286003
BahasaIndonesia

George Orwell adalah nama besar dalam dunia sastra dan politik abad ke-20. Kita mengenalnya lewat novel satir Animal Farm (1945) dan distopia kelam 1984 (1949), dua karya yang mengkritik totalitarianisme dan manipulasi kekuasaan. 

Namun, jauh sebelum mencapai puncak reputasinya, Orwell yang lahir dengan nama asli Eric Arthur Blair ini, pernah mengalami masa hidup sebagai kaum miskin di Eropa. Pengalaman inilah yang dituangkan dalam buku pertamanya, Down and Out in Paris and London (1933).

Tahun terbitnya buku adalah kunci yang menjelaskan latar belakang waktu tulisan di dalamnya. Buku ini adalah memoar sosial yang memadukan catatan pribadi dengan observasi tajam terhadap struktur sosial di dua kota besar Eropa. Dengan gaya penulisan yang lugas, Orwell mengajak pembaca menelusuri lorong-lorong kumuh Paris dan jalanan berkabut London, sambil membuka mata bahwa kemiskinan bukan sekadar kondisi ekonomi, melainkan sebuah sistem yang membentuk cara orang dipandang dan diperlakukan.

Paris: Dari Mimpi ke Realitas Dapur Hotel

Bagian awal buku berkisah tentang kehidupan Orwell di Paris. Awalnya, ia masih bisa bertahan dengan sisa tabungan, namun keuangannya merosot hingga akhirnya ia harus bekerja sebagai plongeur (pencuci piring) di hotel dan restoran.

Pekerjaan ini digambarkannya dengan detail yang melelahkan. Ia harus bekerja berjam-jam tanpa henti, di ruang panas penuh uap, dengan bayaran yang nyaris tak cukup untuk sekadar makan. Paris yang biasa digambarkan romantis dalam imajinasi turis berubah menjadi kota penuh keringat dan asap dapur. Orwell menulis, “A plongeur is one of the slaves of the modern world... if plongeurs thought about it, they might consider themselves the most important class of all.”

Kutipan ini memperlihatkan sindiran Orwell terhadap dunia kerja. Para pencuci piring memang berada di lapisan paling rendah dalam hierarki restoran, tapi tanpa mereka, roda dapur tidak akan berputar. Ironinya, justru mereka yang paling tak terlihat dan dihargai.

London: Antara Jalanan, Rumah Singgah, dan Sup Dingin

Setelah Paris, Orwell kembali ke London dengan harapan situasi membaik. Nyatanya, ia justru jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan. Ia hidup sebagai gelandangan, tidur di spikes (rumah singgah sementara), berjalan kaki berpuluh kilometer hanya demi tempat tidur gratis, dan makan seadanya dari dapur umum.

Di bagian ini, Orwell memberikan potret tajam tentang sistem penampungan gelandangan di Inggris. Alih-alih memberi perlindungan, aturan yang diterapkan sering kali bersifat menghukum. Para tunawisma hanya boleh tinggal satu malam, lalu harus berpindah ke tempat lain. Sistem ini membuat mereka tak pernah punya stabilitas. Orwell menulis, “The workhouse system was not designed to keep men alive, but to keep them from starving.”

Kehidupan sebagai gelandangan digambarkan begitu monoton; berjalan, antre, tidur di ruang penuh orang asing, lalu mengulanginya lagi keesokan hari. Detail yang repetitif ini justru efektif, membuat pembaca ikut merasakan betapa letihnya hidup tanpa rumah. Rasanya bahkan tidak lebih baik daripada seperti tinggal di Rumah Kurcaci Pos yang kecil-kecil itu. 

Tema Sosial: Kemiskinan sebagai Sistem

Salah satu kekuatan buku ini adalah keberanian Orwell menantang pandangan umum tentang kemiskinan. Di masa itu, orang miskin sering dianggap malas atau gagal mengambil peluang. Orwell justru menunjukkan bahwa kemiskinan adalah hasil dari struktur sosial dan ekonomi yang timpang.

Ia menyimpulkan bahwa pekerja rendahan bukan tidak bekerja keras. Justru mereka yang paling keras bekerja. Namun, jerih payah mereka hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk naik kelas sosial. “It is a feeling of relief, almost of pleasure, at knowing yourself at last genuinely down and out. You have talked so often of going to the dogs—and well, here are the dogs, and you have reached them, and you can stand it.”

Kutipan ini memperlihatkan sisi filosofis Orwell: ada semacam kepasrahan sekaligus penerimaan bahwa sistem membuat mereka tetap berada di bawah, tak peduli seberapa keras mereka berusaha.

Lugas, Humor Getir, dan Apa Adanya

Secara gaya, Down and Out in Paris and London berbeda dari karya fiksi Orwell. Buku ini adalah memoar, tetapi ditulis dengan gaya jurnalistik yang jujur, detail, dan kadang penuh humor sinis. Ia bisa membuat pembaca tersenyum getir saat membaca keluhan pekerja restoran tentang koki yang sombong, atau aturan konyol di rumah singgah yang terasa lebih ketat daripada penjara.

Detail sensorik yang ia gunakan membuat pembaca seolah ikut berada di sana: mencium bau minyak gosong di dapur Paris, atau merasakan dingin menusuk di jalanan London. Bahasa yang sederhana dan tidak bertele-tele membuatnya mudah diikuti, bahkan oleh pembaca modern.

Relevansi untuk Zaman Sekarang

Meski ditulis pada tahun 1930-an, buku ini tetap relevan di era modern. Kota-kota besar masih memiliki jurang yang lebar antara mereka yang hidup dalam kenyamanan dan mereka yang berjuang sekadar bertahan hidup. Kisah Orwell mengingatkan kita bahwa di balik lampu neon dan gedung pencakar langit, selalu ada sisi lain kota yang tersembunyi dari pandangan turis atau kelas menengah atas.

Dalam konteks Indonesia misalnya, kita bisa membandingkan pengalaman Orwell dengan realitas pekerja informal atau buruh harian. Mereka bekerja keras setiap hari, namun penghasilan hanya cukup untuk hidup pas-pasan. Sama seperti plongeur di Paris, mereka adalah “tulang punggung” yang jarang dihargai.

Bahkan, saya membacanya di tahun 2025 saat negeri ini sedang ribut dengan kesenjangan antara rakyat dengan pejabatnya. Sungguh-sunggu relate dan turut merasakan sakit hati mengingat kenyataan bahwa miskin adalah warisan struktural, bukan sekadar malas dan kurang berusaha. 

Apakah Layak Dibaca?

Bagi pecinta sastra klasik, buku ini adalah bacaan penting. Ia menjadi fondasi pemikiran Orwell yang kelak berkembang dalam karya-karya besarnya. Dengan membaca Down and Out in Paris and London, kita bisa memahami akar kepekaan sosial Orwell, kenapa ia begitu keras mengkritik ketidakadilan dalam Animal Farm dan 1984.

Jadi saya sarankan baca buku ini dulu sebagai pembuka pikiran. Animal Farm lebih tipis jadi bisa dikejar. Hitung-hitung mengasah kepekaan sosial kita sebagai manusia juga.  

Untuk pembaca umum, buku ini bisa terasa menantang karena banyak detail tentang kehidupan jalanan yang repetitif. Namun, justru di situlah kekuatannya: Orwell ingin pembaca merasakan kejenuhan, kelelahan, dan keterjebakan yang dialami orang miskin.

Down and Out in Paris and London bukan sekadar catatan pribadi, melainkan dokumen sosial yang membuka mata tentang realitas kemiskinan. Orwell mengajak kita melihat bahwa kemiskinan bukan hanya tentang tidak punya uang, melainkan tentang hilangnya kebebasan, harga diri, dan kesempatan.

Membaca buku ini ibarat berjalan bersama Orwell di lorong kumuh Paris dan trotoar London. Jauh tuh dari romantisme Eropa sebagai tempat berbagi cerita dan ceria seperti di dongeng-dongeng. Kita mungkin merasa tidak nyaman, tetapi justru dari ketidaknyamanan itulah kita bisa belajar: kemiskinan bukan pilihan, melainkan hasil dari struktur sosial yang timpang.

Dengan gaya lugas, jujur, dan penuh humor getir, Orwell berhasil menyampaikan pesan yang masih relevan hingga hampir satu abad kemudian: di balik gemerlap kota besar dan cantik seperti Paris dan London, selalu ada cerita yang tak pernah masuk dalam brosur wisata.

Berat menerima kenyataan memang, tapi voila... tel est le monde!

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url