Di Balik Anak Berprestasi, Ada Orang Tua yang Susah

Jadi orang tua, ternyata nggak mudah ya menerima rasa kecewa.
Saya pikir, saya bakal lebih cepat bangkit karena sudah biasa menghadapi ketidaksesuaian ekspektasi. 
Saya biasanya santuy. 

Tapi ternyata, itu berlaku kalau menghadapi nasib saya sendiri. Kalah, mengalah, tertinggal, dikecualikan, terkucilkan, atau apalah itu... mudah buat saya move on ketika mengalaminya pada diri sendiri. 

Tapi menanggung kekecewaan anak, rasanya berat. 

Dalam beberapa kesempatan kita naruh harapan besar pada anak-anak. Kemudian ketika hasilnya nggak sesuai yang ditargetkan, ada rasa getar-getar gimana gitu dalam hati.  

"Apa yang kurang dari anak saya?"
"Kira-kira salahnya di mana?"
"Kok bisa begini, kalau yang lain gimana?" 
dan sejuta pertanyaan 'kenapa' lainnya di benak mamak. 

Katakan saja dalam konteks lomba/kompetisi, kita melihat dan merasa anak kita sudah berusaha maksimal dan mengerahkan kemampuannya. Saat penjurian pun cukup optimis, minimal ada lah yang nyangkut. Eh hasilnya sekadar masuk nominasi aja, enggak...

Yang paling pertama merasa berat adalah orang tuanya. 

Karena untuk bisa kembali menegakkan kepala anak, menanamkan optimisme, dan membesarkan hatinya anak, orang tuanya dulu yang harus legowo

Sering terjadi, kan, orang tua yang nggak terima akhirnya bawa vibes negatif ke anaknya. Ngamuk-ngamuk menggugat penyelenggara, sampai yang paling parah ya marahin anaknya dianggap usahanya masih jauh dari cukup, bodoh, kalahan, endebre, endesway. 

Naudzubillah. Tahaann, tahan diri, ibu-ibu. 
Tidak ada yang perlu disalahkan dari sebuah kegagalan. 
Jangan sampai melakukan sesuatu yang akan disesali, yang akhirnya memadamkan api semangat anak. 

Orang tua duluan yang mesti menata hati. Bahwa anak yang kita banggakan yang kita kira udah cukup baik itu, ternyata memang ada yang lebih unggul darinya. Menerima dan mengakui ini butuh sepersekian waktu, bisa sejam, bisa beberapa hari. 

Dan butuh menyusun kata-kata yang tetap baik untuk menyampaikan pada anak dengan cara yang baik juga. 

Suatu hari dalam evaluasi setelah kejuaraan Karate, sensei-nya anak-anak bilang, "saya hanya mengajar, ibu dan bapak panjenengan semua yang menjadikan anak-anak bisa punya prestasi."

Sekilas kalimatnya sih simpel saja, ya. Semacam ungkapan merendah dari seorang guru yang tentu jasanya nggak bisa hanya dinilai dari biaya bulanan yang kita keluarkan. Ada kesabaran dan ketelatenan seorang guru dalam mendampingi anak-anak muridnya. 

Tapi kemudian saya breakdown lagi ketika lagi duduk-duduk nunggu anak les. Orang tua, memang pihak yang berkontribusi lebih besar dalam pengembangan bakat dan minat anak. 

Orang tua sudi mengantar jemput anak les/ekskul. Hujan, panas, naik motor, naik ojek, ortu bersedia mengantar jemput anak untuk menimba ilmu dan mengembangkan bakatnya. 

Orang tua memberikan waktu. Sudah sangat lelah pulang kerja atau kerjaan di rumah, inginnya tidur di rumah tapi masih memberikan waktu istirahatnya untuk menunggui anak-anak. Menunggu artinya melepaskan 2-3 jam waktunya, yang mungkin seharusnya bisa dipakai untuk recharge tenaga atau membereskan rumah. 

Orang tua mengeluarkan biaya. Biaya yang tidak sedikit untuk memfasilitasi minat anaknya. 
Satu anak bisa memiliki beberapa peminatan. Satu peminatan bisa berbiaya puluhan ribu sampai jutaan rupiah. Kalau lebih dari satu anak, yah tinggal dikalikan saja jumlahnya tiap bulan. 

Belum lagi les-les atau kursus yang memerlukan perlengkapan/kostum tertentu. Hampir semua ekstrakurikuler membutuhkan peralatan. Entah itu berlembar-lembar worksheets, alat musik, kostum, pelampung, kamera, atau sekecil papan catur pun, selalu ada biaya ekstra yang dikeluarkan orang tua demi bakat anak-anaknya berkembang, demi pengalaman yang dieksplorasi. 

Dan yang sudah pasti tak tergantikan, orang tua memberikan cinta, dukungan, dan harapan :)
Maka, tanpa bermaksud pamrih dan ambisius, wajar orang tua ingin melihat anaknya sukses, berhasil mencapai keinginannya, melihat senyum bahagia atas kerja kerasnya. Dan wajar, ketika orang tua hatinya tak bergeming saat anaknya belum sesuai harapan. 

Entah harapan siapa, anak atau orang tua? 

Orang tua kemudian berkecil hati, menyalahkan diri sendiri, dan sibuk introspeksi. 

Apakah saya overekspektasi terhadap anak?
Apa anaknya nggak apa-apa kalau kalah?
Anaknya sedih nggak ya, kalau belum sesuai yang dia targetkan?
Apakah anak saya selama ini bahagia? 
Jangan-jangan anak saya memang tidak ada bakat di sini?

Padahal, anaknya mungkin biasa-biasa aja. Menganggap segala kompetisi, perlombaan dan sejenisnya hanyalah balapan main-main. Anaknya mungkin lempeng aja. Hati anak tidak sekecil orang tuanya, dan anak adalah makhluk paling mudah move on di dunia.

Hanya saja, hati orang tua itu sensitif. Mudah sedih saat lihat anaknya belum memperoleh hasil yang memuaskan. Tapi, memuaskan untuk siapa? 

Kelapangan dada orang tua diuji oleh anak-anaknya. Jadi orang tua memang harus banyak-banyak berbesar hati. Apa pun yang sudah kita ikhtiarkan, mesti diiringi ikhlas lillahita'ala. Namun kita nggak boleh berputus asa dari kebaikan Allah, banyak-banyak bersyukur dan peluk anak-anak.    
 
Berprestasi atau belum berprestasi, orang tua tetap kebagian peran yang susah. Bersabar dalam ikhtiar. Mengantar anak menuju tingkat prestasi butuh kerja keras. Memotivasi anak yang belum berprestasi pun butuh usaha keras. 

Saya menulis sambil menitikkan air mata, tapi setelah menulis hati saya lebih lega. 

Next Post Previous Post
25 Comments
  • Nurul bukanbocahbiasa
    Nurul bukanbocahbiasa 1 September 2022 pukul 10.28

    Curcol ini sangaattttt relatable bgt dgn semua Emak d kolong langit.

    Apaalgi klo emaknya (dulu) type alpha female, yg biasa meraup banyak prestasi d masa muda.wadidawww berattt bgt, maakkk 😆

  • Rach Alida Bahaweres
    Rach Alida Bahaweres 1 September 2022 pukul 17.23

    Ya ampun jangan sampe kejadian di saya marah marah ke anak padahal anak kan juga sudah berusaha. Ini malah menurutku bikin anak jadi susah buat berkembang dan cenderung tak percaya diri. Makasih sudah sebagai pengingat mba

  • Eni Martini
    Eni Martini 1 September 2022 pukul 21.38

    Wkwkw, maaf aku ketawa dengan judulnya, Mba. Tapi serius, aku ga menuntut anakku berprestasi di sekolah dengan ilmu teori, aku biarkan semampu mereka, aku support aja agar mereka mampu bermasyarakat, beragama, memiliki jiwa leader dengan ikut komunitas, buat bekal nanti di kehidupannya. Kalau mereka berangking, buatku itu BONUS

  • Dian Restu Agustina
    Dian Restu Agustina 2 September 2022 pukul 10.20

    Semangat Mba..jadi orangtua memang berat, ada amanah yang kita jaga dengan tetap mengingat bahwa mereka anak-anak kita ada kurang lebihnya. Juga tiap orang punya garis waktu sendiri-sendiri. Kalau kalai ini belum berprestasi mungkin nanti. Kalau buakan di bidang itu bisa jadi di bidang lainnya:)

  • Nurul Sufitri
    Nurul Sufitri 2 September 2022 pukul 11.47

    Aku senang menbaca tulisan ini, mbak. Alhamdulillaah hati mbak sudah cukup plong. Menangislah kalau itu perlu dan harus. Aku membayangkan nanti bagaimana di tahun 2023 anak sulungku bakalan kuliah, anak bungsu mau masuk SMA, dobel ceritanya baik perasaan maupun fulusnya wkwkwkwk. Semoga segala yang telah diikhtiarkan anak2 dan orangtuanya berbuah manis. Jikalau belum, akan ada hasilnya di masa yang akan datang. Peluk jauh :)

  • Katerina
    Katerina 2 September 2022 pukul 14.35

    Aku setuju dengan "Tidak ada yang perlu disalahkan dari sebuah kegagalan."
    Yang perlu dilakukan ada mengambil pelajaran. Tetap berpikir positif, tidak menyerah, belajar menguatkan mental, dan belajar membesarkan hati.

  • Andiyani Achmad
    Andiyani Achmad 2 September 2022 pukul 16.20

    sepertinya tahun depan aku akan merasakan apa yang ada ditulisan ini, karena anak akan mulai masuk SMP insyaallah dan maunya memberikan sekolah terbaik pastinya. pelukkkkkk mak

  • Helenamantra
    Helenamantra 2 September 2022 pukul 21.20

    alhamdulillah dengan nulis seperti ini jadi terurai benang ruwet di kepala
    thanks for sharing yaa mbak
    membesarkan hati anak itu butuh membesarkan hati diri sendiri dulu untuk menerima kenyataan

  • Indah Nuria Savitri
    Indah Nuria Savitri 3 September 2022 pukul 11.10

    memang menjadi orang tua itu berat ya mba.. hehehe, dari awal mau punya anak hingga mereka besar semuanya berbalut perjuangan. Been there done that, dan rasanya selama kita menjadi orang tua, perkerjaan ini tidak akan usai. Semangaaaat

  • Utie Adnu
    Utie Adnu 3 September 2022 pukul 11.46

    Kata ((susah))nya dignati boleh gak kak... Paling tidak ada perjuangan orangtua untuk anak2nya berhasil karena amanah ya..

    kalau nanti dibilang susah maka akan sulit mewujudkannya karna kata susah =sulit 🤗🙂

  • Hidayah Sulistyowati
    Hidayah Sulistyowati 3 September 2022 pukul 15.40

    Aku setuju dengan kalimat : orang tua memberikan cinta, dukungan dan harapan.
    Hal sama aku alami waktu si bungsu sekolah kelas 5, sedih ketika guru kelasnya berucap anakku itu bodoh. Ya Allah, masa guru ngomongnya gitu. Tapi aku berusaha ikhlas dan tidak mau mengucapkan hal sama tentang anakku seperti gurunya.

    Alhamdulillah waktu SMP, saat sebelum proses pengajaran dimulai ada sesi konsultasi murid dan wali murid dengan guru BP. Aku pun mencurahkan semua uneg-uneg, kelebihan dan kekurangan si bungsu. Dan bener juga dia bisa berprestasi di tempat yang tepat.

    Intinya kita tetap memberikan dukungan dengan cinta yang kita miliki untuk anak-anak kita. Insya Allah ada harapan positif yang bisa kita wujudkan. Semangat ya mbak Rella

  • HM Zwan
    HM Zwan 3 September 2022 pukul 15.51

    Makasih mbak untuk remindernya. Sekali lagi, semangat ya mbk. Ada hikmah dibalik setiap kegagalan. Alhamdulillah lebih plong ya mbk setelah ditulis disini

  • Dennise Sihombing
    Dennise Sihombing 3 September 2022 pukul 17.34

    Sangat setuju kakak. Ini saya alami dengan ke-2 putri saya. Jungkir balik dalam banyak hal, tidak hanya dana tetapi waktu. Terutama waktu "me time" nyaris tidak ada semua untuk anak. Puji Tuhan ada buah manis untuk hasilnya

  • Dee_Arif
    Dee_Arif 3 September 2022 pukul 18.34

    I feel you mbak
    Mau punya anak berprestasi, pasti harus ada usaha yang dilakukan
    Ada usaha, ada hasil
    Dan memang sudah tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak

  • Suciarti Wahyuningtyas (Chichie)
    Suciarti Wahyuningtyas (Chichie) 3 September 2022 pukul 19.44

    Aku nih merasakan banget semenjak anakku mulai sekolah SD harus lebih ekstra lagi, kalau masih TK mah lebih santailah. Eh begitu SD ikutan belajar juga, bikinin soal-soal untuk latihannya dia. Apalagi semenjak sudah mulai sekolah full gini, jadi lebih berasa banget belajarnya. Banyak hal yang bisa kita ambil saat menemani anak belajar, kalau aku biasanya memposisikkan sebagai teman belajar mbak.

  • Okti Li
    Okti Li 3 September 2022 pukul 20.12

    Saya ikut merasakan ini. Sebelum pandemi, saya kerja keras demi pembelajaran anak maksimal. Pas pandemi, saya niatkan anak bisa belajar sendiri. Dengan bimbingan pastinya hanya tidak sekeras seperti sebelumnya
    Hasilnya semoga yg terbaik saja
    Saya sudah lelah juga hehehe

  • Yurmawita
    Yurmawita 3 September 2022 pukul 20.15

    Wah bener banget nih, orangtua harus menata hati, berbesar hati dan belajar legowo saat anak tidak sesuai ekspektasi. Karena berprestasi nya seorang anak pasti ada andil orang tua juga, baik motivasi dan doa

  • Gusti yeni
    Gusti yeni 3 September 2022 pukul 21.54

    Ya Allah berasa ketampar, ituu aku dulu maak pernah ngrasain down kok aku ibu rumah tangga kalah sama temen anakku pdhl ortunya dua2nya kerja. Ada rasa bersalah tapii semua di pupus sama suami yg selalu mengingatkan jangan menaruh harapan ke anak tll.tinggi tar kecewa.

    Jangan juga menyuruh anak.kelak harus ABC biarlah dia yg memil8h dan menjalani. Biarlah spt air mengalir.

  • April Hamsa
    April Hamsa 3 September 2022 pukul 22.44

    Aku pribadi tipe yang santuy mbak, gak menuntut anak berprestasi gmn2 hehe. Aku lebih menekankan mereka berkompetisi dengan diri mereka sendiri, kyk misalnya melawan kemalasan belajar :D
    Emang sih ada beberapa ortu yang mendorong anaknya berprestasi, alasannya kadang gak cuma kebanggan, tapi banhak, salah satunya ekonomi (misal kalau ranking nanti dapat beasiswa, kalau menang lomba bisa gampang masuk sekolah negeri dll), cuma emang sebaiknya ortu gk mem-push anak ya, khawatir kecil2 setres huhu. Reminder jg buatku TFS

  • Lia Yuliani
    Lia Yuliani 3 September 2022 pukul 23.33

    Saya paham apa yang dirasakan Mba. Sebenarnya Kita perlu sih menjauh dari tipe orang yang mengajak berkompetisi begini Mba. Saya juga pernah sih mengalami hal seperti ini. Memang kadang engga bisa menyamaratakan anak harus bisa ini itu, dilesin macam-macam. Kasian anal kadang Mba, seperti dia dituntut harus berprestasi, harus bisa ini dan itu. Untunglah Mba sudah lega saat menuliskan ini ya. Saran saya sih jauhi tipe orang yang mengajak berkompetisi, Yang merasa anaknya, dirinya atau suaminya yang paling hebat. Jujur aja ketemu orang begini, saya langsung ambil jarak sih Mba.

  • lendyagassi
    lendyagassi 3 September 2022 pukul 23.39

    Kalau membaca tulisanmu, Rel.. Aku jadi teringat kata-kata Ibu. Bahwa keberhasilan anak ini gak terlepas dari pengorbanan seorang Ibu dalam mendampingi sehari-hari. Gak salah banget, karena disela-selanya pasti sellau ada doa doa dan ridlo seorang Ibu.

    Semoga apapun hasilnya, anak bisa berbagia dengan pilihannya dan mengenang kedua orangtuanya sebagai teladan kebaikan yang akan terus mereka bawa hingga mendidik generasi berikutnya.

    Barakallahu fiik, Mama Rella.

  • Dian farida ismyama
    Dian farida ismyama 4 September 2022 pukul 23.25

    Anehnya, justru hal di atas terjadi pada diri saya sendiri. Ketika syaa merasa yg saya lakukan tdk sesuai ekspektasi, saya kecewa, ngrasa kok udah berusaha tapi msh gagal. Apa saya kurang bagus ,kurang kompeten dll. Tapi hal ini ga brlaku ke anak2 saya. Mereka ikut ekskul melukis. Harapan saya bukan ikut lomba atau kompetisi, lebih ke nyalurin hobi, nambah skill dll. Jatuhnya malah lebih nyaman untuk saya dan anak2. Jadi ketika plg ekskul kita ngobrol tadi nganpain aja, seneng ga, susah ga dll. Saya tanamkan ke mereka, kalau di masa depan udah ga zaman untuk berkompetisi, zamannya adalah kolaborasi dg orang lain. Boleh saja berkompetisi tapi dg diri sendiri. Mengalahkan rasa malas, mengalahkan kekurang disiplinan dll. Imho ini sekedar pandangan saya ya

  • Dian farida ismyama
    Dian farida ismyama 4 September 2022 pukul 23.27

    Tes

  • Eni Rahayu
    Eni Rahayu 8 September 2022 pukul 14.47

    Setuju sekali dengan isi hati mbak Rella. Apapun dilakukan orang tua untuk kepentingan terbaik anak. Meski caranya juga berbeda-beda ya mbak. Kasihan juga kalau ada orang tua yang memaksa anaknya harus berprestasi, nanti sama-sama capek, ya orang tua ya anak. Saya pun lebih memilih, terserah mereka. Saya hanya berusaha mendampingi mereka tanpa harus menggantungkan ekspektasi terlalu tinggi. Mereka mau les, hayuk, mau di rumah aja mainan sama hamster juga hayuuk. Kok rasanya semua yang dilakukan anak ini pasti ada pelajarannya, hehe

  • Adriana Dian
    Adriana Dian 8 September 2022 pukul 18.43

    Bener banget nih juduuulnya, ada perjuangan orangtua di balik prestasi anak anaknya yaaaah.. hihi. Pokonya pasti orangtua bakal dukung apapun selama itu positif ya maaak

Add Comment
comment url