Cang Nyiat Pan : Tradisi dan Kuliner Cap Go Meh di Singkawang

Cang Nyiat Pan. Istilah ini awalnya terasa asing di telinga saya, dan mungkin juga bagi teman-teman yang nggak biasa mendengarnya. Saat melihat poster acara yang diadakan Aksara Pangan ini saya jadi berpikir, apakah Cang Nyiat Pan itu sama dengan Cap Go Meh?

So, saya memutuskan buat ikutan Acara Seri Gastronomi Indonesia yang mengangkat topik “Perayaan Cang Nyiat Pan di Singkawang, Kalimantan Barat" pada tanggal 26 Februari kemarin. Bakal menarik karena menghadirkan para pakar budaya dan kuliner Tionghoa. Ada Chef Wira Hardiyansyah (IG @wirahardiyansyah2.0), Bapak Dr. Hasan Karman, SH, MM (IG @hasankarman_) dan Chef Meliana Christanty (IG @melianachristanty).

cang nyiat pan

Apa Itu Cang Nyiat Pan?

Menurut sistem penanggalan imlek, setiap kombinasi 10 tian gan dan 12 di zhi, etnis Tionghoa di Indonesia akan merayakan Cap Go Meh, alias hari kelima belas di bulan pertama pada tahun yang baru. Kata Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien/Tiociu, dalam menyebut cap go (lima belas) dan meh (malam), artinya malam kelima belas. Sedangkan di Tiongkok sendiri, perayaan Cap Go Meh dalam bahasa Mandarin disebut Yuan Xiao Jie yang artinya festival malam bulan satu. Nah, dalam dialek Hakka/Khek, disebutnya Cang Nyiat Pan, terdiri dari cang nyiat (bulan pertama), dan pan (pertengahan).

Jadi, terjawab sudah yaaa. Cang Nyiat Pan itu sama dengan Cap Go Meh dalam dialek yang berbeda. Disebut perayaan malam utama karena malam ke-15 ini jatuh pada bulan pertama Imlek yang merupakan perayaan penutup Tahun Baru Imlek.

Ritual Asli

Pada masa awalnya, Yuan Xiao Jie di masa Dinasti Han dirayakan sebagai penghormatan kepada Dewa Thai-Yi (dewa tertinggi dalam Taoisme). Ritualnya tertutup untuk kalangan istana saja, dan dilakukan pada malam hari sampai keesokan paginya. Ini kenapa terdapat banyak penerangan berupa lentera yang akhirnya disebut Lantern Festival.

Setelah Dinasti Han runtuh, perayaan Yuan Xiao Jie dijadikan penutup penyambutan musim semi (tahun baru Imlek). Yang biasa dilakukan masyarakat pada saat itu setelah makan malam adalah menikmati keindahan bulan purnama sempurna sambil menonton tarian Naga (liong) dan Barongsai, berkumpul dan mengadakan permainan, dan menyantap sajian khas Yuan Xiao atau Tang Yuan.
tang yuan
Presentasi Chef Wira Hardiyansah, dalam "Cang Nyiat Pan" (Aksara Pangan)


Perayaan Cang Nyiat Pan di Singkawang

Nah, bagaimana dengan perayaan Cang Nyiat Pan yang di Singkawang, apakah berbeda dengan di Tiongkok? Eh, sebelum itu, kita perlu tahu dulu kenapa Singkawang secara presentase, 42% penduduknya didominasi oleh orang Tionghoa. Bisa baca-baca artikel Tirto tentang "Orang-Orang Tionghoa di Singkawang" ini untuk lengkapnya. 

Singkatnya, sejarah Singkawang sendiri tidak lepas dari Kesultanan Sambas, penambang Tionghoa dan emas. Pada saat orang-orang Tionghoa dipekerjakan oleh Sultan Sambas sebagai penambang emas 2.5 abad silam, saat itu dimulailah gelombang pendatang yang kian bertambah banyak. Saat Belanda menyapu bersih orang-orang keturunan Tionghoa di tambang-tambang emas, maka mereka beralih mata pencaharian menjadi petani. Di sinilah penetrasi kebudayaan berbaur dengan warga lokal.

Ternyata, selain perbedaan penyebutan, kegiatan perayaan Cap Go Meh di Singkawang juga mempunyai keunikan tersendiri.
  • Pada Hari ke 12 (H-3), kota Singkawang penuh dengan hiruk-pikuk kelompok “TATUNG” yang berkeliling dengan tabuhan yang ramai dengan kepercayaan bahwa para shaman/dukun membersihkan kota dari unsur2 negatif & roh jahat.
  • Pada hari H (Hari ke15), ritual ini mencapai puncaknya. Seluruh kelompok TATUNG keliling kota & melakukan sembahyang di Kelenteng Tridharma Bumiraya yang berada di tengah kota.
  • Setelah pawai keliling kota, terjadi acara lelang barang-barang yang sebelumnya diletakkan di altar sembahyang kepada Kaisar Langit.

Tradisi Cang Nyiat Pan 

Nah, masuk ke tradisi perayaan khas Cang Nyiat Pan yang disampaikan oleh Dr. Hasan Karman, SH, MM, seru sekali menemukan fakta bahwa lazimnya, orang-orang akan masak sendiri di rumah dan makan bersama keluarga besar. Ini salah satu alasan kenapa hampir semua orang saat itu pada bisa masak, karena terbiasa apa-apa masak sendiri untuk sajian keluarga. Saat itu, orang yang makan di luar itu dianggapnya kesepian karena tidak punya keluarga untuk diajak makan bersama.

Lalu seiring perkembangan zaman, mulai marak gaya hidup makan di luar karena mulai banyak anggota keluarga yang bekerja di perusahaan orang lain dan kedatangan orang luar daerah. Tapi, masakan yang dijual di rumah makan pun masih dengan gaya khas hidangan rumahan, seperti tamu boleh memilih bahan dan minta dimasak sesuai seleranya (sayuran segar, ikan, udang, daging dan lain-lain dipajang dan digantung di etalase).

Hangatnya masakan rumahan inilah yang sering dirindukan orang-orang yang merantau ke luar Singkawang, sehingga mereka menceritakan ke orang luar tentang hidangan rumah yang bisa dicicipi masyarakat umum di kedai-kedai yang menyediakan masakan rumahan di Singkawang. Beginilah mulanya kuliner Singkawang mulai menarik perhatian para turis dan pendatang.

Salah satu sajian istimewa yang populer adalah ayam arak yang bumbunya menggunakan ka chiang ma (yi mu cao = beneficial herbs for mother). Hidangan ini biasanya dimasakkan untuk ibu-ibu selama 40 hari pasca melahirkan untuk memulihkan kondisinya.

ayam arak
ayam arak 
(presentasi Hasan Karman dalam Seri Gastronomi : Cang Nyiat Pan (Aksara Pangan)


Mungkin ada yang bertanya, dalam konteks makanan, lebih ‘chinese’ mana, antara Pontianak dan Singkawang?

Meski jarak Pontianak-Singkawang hanya 150 km, ada perbedaan corak Tionghoa pada khasanah kuliner keduanya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan bahasa dan sub etnis di mana di Pontianak mayoritasnya sub etnis Teochew, sementara di Singkawang (+ Sambas & Bengkayang) mayoritasnya sub-etnis Hakka (Khek). Leluhurnya sama-sama dari Tionghoa Selatan (Provinsi Guang-dong), namun dialek kedua etnis ini sangat berbeda.

Contohnya pada perbedaan penyebutan makanan di Pontianak dan Singkawang di bawah ini yang sebenarnya merefer pada makanan yang sama.

kuliner chinese


Pengaruh Kuliner Tiongkok pada Kuliner Nusantara

Mari kembali lagi melihat secara luas bahwa pengaruh kedatangan orang-orang Tiongkok ke Indonesia memberikan pengaruh luar biasa termasuk pada khasanah kulinernya. Chef Wirahadiansyah memberikan contoh pada bahan-bahan dan bumbu masakan seperti tahu, kembang tahu, mie, bihun, soun, tauco, kecap, yang berasal dari Tiongkok dan memanfaatkannya dengan digabungkan dengan bahan-bahan setempat.

Dalam “Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara” (2013), Chen Aji Joseph mengatakan bahwa beberapa metode memasak pun diadopsi dari budaya Tionghoa seperti menggoreng, menumis (fan chao), sautee (jian), menggoreng dalam minyak banyak (zha) tidak pernah dikenal oleh penduduk Nusantara sebelumnya.

Ngomong-ngomong, sudah tahu belum bedanya totok dan peranakan? Seringkali kita dengar istilah “si Anu itu masih Cina totok”, atau “si B udah peranakan sini”. Nah, sebenarnya begini nih bedanya. Ini sih intermezzo aja ya, barangkali ada yang belum tahu ^^


Kuliner Khas Cang Nyiat Pan

Pada sesi khusus kuliner khas Singkawang untuk perayaan Cang Nyiat Pan, chef Meliana Christanty menyebut beberapa bahan premium yang digunakan beserta sajian olahannya.

Biasanya ada 8 hidangan utama dan hidangan pendamping, yaitu:
  • Aneka kudapan seperti kue kering.
  • Kue basah & kue-kue lain (kue keranjang, lempok durian, dodol, lapis legit)
  • Buah–buahan Eg. jeruk pomelo & jeruk Mandarin
  • Minuman: air mineral, teh, minuman bersoda & minuman beralkohol (sesuai selera)
Dalam memasak, meski hidangan rumahan, tetap menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi seperti sarang burung walet, teripang (sea cucumber), kelupak ikan (fish maw), ikan segar (bawal, empurau, jelawat), rebung (bamboo shoots), udang galah (king prawn), babi (pork), bebek (duck), ayam kampung, dan jamur (mushroom).

Setiap keluarga peranakan mempunyai kekhasan masing- masing tetapi pakem yang dianut akan tersaji 8 jenis hidangan, ditambah nasi dan buah/cocktail.

Total hidangannya sendiri ada 10 Jenis:
  1. Chiang Mie
  2. Masakan Ca
  3. Hakong
  4. Ikan (digoreng dengan kunyit/dikukus dengan jahe)
  5. Tek Sun (rebung ditumis dengan daging)
  6. Udang galah asam garam
  7. Babi (phak lo, babi kecap, sate babi)
  8. Sup bebek asinan plum
  9. Ayam (ayam arak, ayam serundeng)
  10. Selade
Nah, untuk condiment hidangan-hidangan tersebut, biasanya yang disajikan seperti sambal belacan, sambal mangga muda, cincalok dicampur kalamansi (Kit Kia) & irisan cabe rawit/ebi dimatangkan dengan air jeruk kalamansi, lalu dicampur dengan irisan sawi asin & cabe rawit merah.

Seperti yang disebutkan tadi, masakan ini semua dihidangkan di rumah-rumah untuk dimakan bersama keluarga dalam perayaan Cang Nyiat Pan di Singkawang.

Selain meriah pada perayaannya, meriah pula pada masakannya ya! Semoga suatu saat bisa jalan-jalan ke Singkawang menikmati kuliner khasnya, karena suami udah pernah tinggal di sana beberapa tahun sementara saya menginjakkan kaki ke Kalimantan aja belum pernah *eh curhat.

Next Post Previous Post
18 Comments
  • Salman Faris
    Salman Faris 11 Maret 2021 pukul 22.39

    Luar Biasa banget pembahasan mengenai cang nyiat pan ini, aku jadi pengen ke Singkawang untuk acara cap go meh

  • Hani
    Hani 13 Maret 2021 pukul 20.42

    Seru banget sih acaranya. Baru tahu lho mulai dari dialek hingga kuliner, beda antara Pontianak dan Singkawang. Padahal masih satu provinsi. Bener-bener Indonesia kaya, campuran berbagai budaya...

  • Mutiara Sy
    Mutiara Sy 13 Maret 2021 pukul 22.00

    Aku suka banget baca-baca artikel yang bahas kuliner tiongkok kayak gini, karena aku juga suka makanan ala chinese yang banyak dijual orang-orang. Kayak dumpling dan kwetiaw, itu sih yang paling favorit.

    • Rella Sha
      Rella Sha 14 Maret 2021 pukul 20.53

      samaaaa.. masakan peranakan ini ada semacam taste warisannya gitu yaa

  • Fenni Bungsu
    Fenni Bungsu 14 Maret 2021 pukul 05.59

    Kue-kue nya itu bikin ngiler, ada beberapa yang udah pernah daku coba karena dulu punya tetangga yang merayakannya dan suka berbagi kue²nya

  • Yuni BS
    Yuni BS 14 Maret 2021 pukul 06.18

    Selalu menyenangkan membahas masalah budaya. Terlebih perayaan cap go meh atau di artikel ini ada yang menyebut cang nyiat pan.

    Saat tinggal di Semarang, saya suka berkulineran di pecinan saat cap go meh. Meski harus memilih kuliner yang ramah untuk perut saya sendiri. Tentu suasananya ramai sekali. Dan itu rasanya nggak bisa ditemukan di saat pandemi saat ini. Atau ntahlah. Aku nggak bisa mendatanginya lagi. Hehehe

  • Didik
    Didik 14 Maret 2021 pukul 08.50

    Wah lengkap banget nih pembahasan sejarahnya. Ini salah satu destinasi fav gw yang pgn banget gw datangi pas Cap Go Meh. Semoga pandemi lekas usai. Jadi gw bisa jalan2 lg. Tinggal Kalimantan nih yang belum gw singgahi.

  • Lasmicika
    Lasmicika 14 Maret 2021 pukul 09.10

    Owalah...
    Lebih familiar cap go meh, tapi sebenarnya sama ya cang nyiat pan ini?

    Hidup berdampingan dengan beragam etnis ini seni tersendiri dalam masyarakat Indonesia yang heterogen.

  • Euisry Noor
    Euisry Noor 14 Maret 2021 pukul 10.51

    Ternyata sama dengan cap go Meh ya... Luar biasa memang kuliner kita, begitu beragam dan kaya. Menarik juga menilik sejarahnya. Sepertinya enak2 banget menunya. Kepengen coba yg hidangan laut sama ayam, eh tapi itu juga kalo halal bahannya, hehe

    • Rella Sha
      Rella Sha 14 Maret 2021 pukul 20.51

      bikin versi halal aja ngga pake arak, hehe

  • Syahri
    Syahri 14 Maret 2021 pukul 19.17

    Saya sering denger juga istilah China Totok, tapi gak ngerti gimana maksudnya.

    Sekarang paham, ternyata China Totok itu Kaum migran China beserta keturunannya yg tetap mempertahankan bahasa dan budaya asalnya.

    Makasih infonya ya mbak..

  • Nita Juwithafina
    Nita Juwithafina 14 Maret 2021 pukul 20.16

    Aku malah salfok sama rondenya ni mba...
    Aku pecinta ronde banget-banget kalau menemukan ronde enak bisa tiap hari aku makan rondenya :)

    • Rella Sha
      Rella Sha 14 Maret 2021 pukul 20.51

      waaa ronde memang enak mbak, dimakan anget-anget di suasana dingin..hmm nikmaatt

  • Tukang Jalan Jajan
    Tukang Jalan Jajan 14 Maret 2021 pukul 20.38

    Sebagai orang yang lama tinggal di berbagai daerah Kalbar terutama Pontianak, tradisi ini sungguh dekat dengan kehidupan sehari hari. Bahkan saya sering diajak teman untuk ikut merasakan tradisi ini. Menarik sekali

    • Rella Sha
      Rella Sha 14 Maret 2021 pukul 20.49

      ah iyaa abang kan di Ponti yaa pasti udah familiar banget dgn acara seperti ini, seruu sekali ^^

  • Rahmah 'Suka Nulis' Chemist
    Rahmah 'Suka Nulis' Chemist 14 Maret 2021 pukul 21.59

    Banyak teman di Singkawang dan kalau Imlek suka sharing foto keseruan tapi saat pandemi gini mereka ga ambil foto

  • Marita Ningtyas
    Marita Ningtyas 14 Maret 2021 pukul 22.38

    Aku baru tahu ada perayaan Cang Nyiat Pan, eh ternyata sama kek Cap Go Meh ya. Memang bahasa Cina itu banyak jenisnya, ada mandarin, Hokkian, dan masih banyak lainnya. Dulu aku pernah belajar Mandarin, eh ketemu teman yang bekerja menjadi TKW di Hongkong, ternyata bahasa cina yang dipakai di sana berbeda, jadilah aku bingung sendiri.

    Aah indahnya keberagaman di Indonesia ya, ada banyak adat dan budaya yang membaur menjadi satu.

  • Narasi Nia
    Narasi Nia 15 Maret 2021 pukul 07.09

    Dulu juga warga sekitar rumah nenekku juga sering berpartisipasi kalau perayaan cap gomeh tiba mbak. Aplagi kaum Tionghoa nya emang ramah-ramah dan open house banget. Jadi seru dan penuh kenangan

Add Comment
comment url