Catatan Tentang Review Tempat Makan

Akhir pekan lalu saya ikutan Round Table-nya Feastin, media yang membahas food, people, and culture. Round Table ini semacam diskusi atau ngobrol bareng gitu yaaa, dan kali ini sudah volume ke-5 dengan mengusung tema “Jangan Arogan! Catatan untuk Pelanggan dan Restoran”.


Apa sih yang dibahas dari diskusi meja bundar yang dilakukan via Zoom selama satu jam ini? Arogansi apa yang dimaksud dari restoran dan pelanggan? Well, kita tahu kan ya saat ini sudah banyak sekali foodies, food vlogger, food reviewer, food blogger, and so forth seiring meningkatnya trend makan di luar dan mengulasnya di sosial media.

Ada yang memang ngerti, ada yang penting review jujur meski awam, ada juga yang ala kadarnya…tinggal bilang “enak banget!”. Ada juga yang senang mempertontonkan sesi makan krauk-krauk kepada khalayak ramai.

Nah, sebaliknya, pihak resto juga jaman sekarang lebih ‘turun gunung’ istilahnya, untuk menyapa para pelanggan di media sosial dan membuka komunikasi lebih dekat lagi.

Di Round Table kali ini hadir narasumber yang akan ngobrol bareng yaitu Patrese Vito (executive chef dari Botanica), Lidia Tanod (moderator Jalan Sutra), dan Prawnche Ngaditowo (foodies @foodadventurer). Tentu saja dipandu sama writer-chef, Kevindra Soemantri dari Feastin.id

Arogansi yang Terjadi di Tempat Makan

Sesi pertama dimulai sama mbak Lidia, beliau bilang hal yang penting untuk dipahami bahwa jangan sampai kita me-review suatu tempat makan untuk menjatuhkan usaha orang.

Jargon klasik yang sering kita dengar “kalau anda senang beritahu teman, kalau anda tidak senang beritahu kami” itu bukan sekadar basa-basi, tapi merupakan prinsip dasar bagaimana pelanggan dan pemilik usaha saling menjaga etika masing-masing dengan rendah hati.

Yes, lawan dari arogansi adalah rendah hati.

Ketika kita punya sesuatu untuk disampaikan ke restoran, sampaikan apa yang kita rasakan apa adanya, tidak perlu didramatisir. Sebaliknya, pemilik tempat makan juga berkewajiban memberi servis menyenangkan sehingga apa pun feedback dari pelanggan, hendaknya disikapi dengan humble.

Ada aja memang, pemilik atau chef yang merasa sudah pengalaman dan senior, sehingga cenderung antikritik...tapi balik lagi ke apa esensinya yang mau kita sampaikan di sosial media?

Nah kalau dari sisi restoran, memangnya sejauh apa sih resto menganggap tamu itu arogan?

Chef Vito menjawab dengan sangat elegan, di mana dia menyampaikan bahwa tiap orang pasti ingin mendapat servis yang baik, hanya saja penyampaiannya berbeda-beda. Ada yang memang penyampaiannya kurang nice, ada yang sungkan, ada juga yang blak-blakan.

Resto sendiri nggak bisa berbuat banyak dengan keluhan pelanggan yang bilang too salty, kurang garam, atau kemanisan.. karena hal-hal seperti ini bersifat subjektif, sehingga sulit mau diapa-apain. Tapi kalau yang dikomentari itu hal-hal teknikal seperti gosong, masih mentah, overcooked, nah itu baru bisa diusahakan.

Bagi Chef Vito, kalau ada yang ngomong nggak enak, ya disabarin aja...direspon dengan baik dengan tujuan we-change-the-way-they-think-about-us. Mereka (pihak resto) juga biasanya akan offer some help dengan baik-baik juga, misalkan ditawarkan hidangan lain atau tambahan side dish.

Sedangkan dalam pandangan Prawnche yang notabene punya power untuk nulis kesan sebuah resto, dia tahu betul pengalaman buruk seseorang belum tentu dialami oleh orang lain. Bisa jadi saat itu adalah ‘hari apes’nya si resto sehingga bisa melakukan suatu kesalahan, yang ‘apesnya’ juga harus dialami oleh pelanggan. Tapi di hari lain bisa saja resto tersebut excellent as usual pada pelanggannya sehingga orang lain nggak ngalamin apa yang kita alamin.

Inilah kenapa pendapat setiap pelanggan pasti beraneka ragam, karena bisa jadi mereka merasakan pengalaman yang berbeda-beda. 

Bagaimanapun juga, kita harus jadi orang baik sehingga orang lain bersedia mendengar/membaca apa yang kita sampaikan. Memang nggak enak kan, meski isinya masukan yang bagus tapi kalau baca tulisan yang isinya marah-marah mulu, berasa ikut diomelin :))  

Fenomena Jepret-Makan-Posting

Selanjutnya, Chef Kevin menyoroti fenomena maraknya orang-orang yang ‘mungkin saja’ baru pertama kali makan di restoran, dan nggak ngerti cara kerja restoran day to day. Sehingga, saat melakukan komplain, isinya nggak esensial gitu tapi nge-gas dulu aja. 

Begitu juga saat memberikan ulasan di sosial media, isinya adalah kritikan tentang operasional yang barangkali sebenarnya udah jadi common practice tapi yang bersangkutan baru tahu, jadi bikin kurang nyaman.

Actually, di bagian ini saya nggak bisa bayangin sih karena saya juga keitung jarang makan di resto fine dining. Bawa anak-anak gitu lho, nggak enak kalau mereka mericuh di tempat yang elegan, hehe.

Vito menceritakan pengalaman lucunya terkait fenomena orang sekarang yang suka show off dengan ngomongin makanan, komen apa tapi sebenarnya salah… 

Jadi suatu saat ada yang komplain tentang panacotta, kata si pelanggan (sambil nada tinggi) “ini masaknya gimana? kok panacotta-nya masih berasa tepungnya?!”

Tentu saja panacotta nggak pakai tepung, tapi sebagai orang yang lebih ngerti dan berpengalaman, Vito menyikapi hal-hal seperti ini dengan santai. Nggak take it too personal. Iya-iyain aja. Mungkin ada orang-orang yang melakukan itu dalam rangka to impress someone, ingin kelihatan oke di depan temen-temennya, atau pasangannya.

Ada baiknya juga untuk menyaring, apa komplenan ini hanya dari satu orang atau banyak orang, major apa enggak? Kalau kasusnya seperti panacotta tadi, mending tawarkan hidangan lain aja tanpa perlu menjawab kalau panacotta memang sebenarnya nggak pakai tepung.

Luar biasa emang ya bekerja di dunia hospitality ini kudu banyak sabarnya. Tertawa dalam hati aja. Kalau dibalas dengan panas, alamat bisnis kita sendiri yang akan terpuruk.

Kalau menurut Chef Vito, ada banyak aspek dalam bisnis kuliner seperti: service, how they talk to customers, how they put personal touch to the service, dan semacamnya agar meninggalkan kesan baik buat tamu. 

Di dalam dapur sendiri banyak yang harus dipikirkan mulai dari ingredients, pemilihan supplier yang kadang nggak konsisten juga bahannya. Sehingga terkadang resto nggak bisa jual popular menunya karena nggak dapat bahan yang bagus. Padahal meski itu menu speciality, tapi kalau disajikan apa adanya dengan bahan seadanya tetap saja bisa mengundang komen jelek dari pelanggan.

Beberapa pemilik bisnis mungkin aja tetap menyajikan menu seadanya, pakai bahan yang nggak bagus asal ada, dan mungkin pelanggannya nggak ngerti juga. Balik lagi ke idealisme restorannya juga sih.

Attitude Pelanggan vs Resto

Lazim ya kita lihat ada pelanggan yang marah-marah karena tidak puas, baik dari sisi penyajian, pelayanan, atau entah apa saja yang bisa jadi masalah.

Sebetulnya resto sudah siap dengan hal-hal seperti ini sebagai konsekuensi dunia hospitality. Hanya saja cara penyampaiannya berbeda. Ada yang sambil marah-marah, ngomong jelek, ada juga yang talk nicely.

Sebagai perwakilan dari resto, Chef Vito biasanya menanggapinya dengan penyesuaian. Ketika pelanggan marah-marah, kita turunin tone supaya mereka ikut tone down juga. Tentu saja menanggapi keluhan pelanggan ini harus memakai hati yang lapang dan pikiran terbuka, karena latar belakang pelanggan juga berbeda-beda.

Prawnche juga setuju, bahwa edukasi dan training karyawan itu penting, untuk memberikan pengetahuan etiket di dunia hospitality. Meminta maaf dengan tulus misal ketika tidak bisa menyajikan menu spesial, atau ada kekurangan, tidak menjadikan semerta-merta resto itu bersalah. Hanya aja pelanggan menginginkan permintaan maaf dan lebih appreciate resto yang bersedia humbly apologize.

Chef Kevin pernah ketemu pelanggan anak-anak muda yang sikapnya bikin dia ingin bilang, "hello, kalo kalian nggak tahu apa-apa, jangan komen deh”. Tapi tentu saja dia nggak boleh bilang begini.

Menurut Kevin, harus dimunculkan lagi gaya chef datang ke meja, berinteraksi dengan tamu sebagai orang yang paling tahu produknya.

Sementara itu, pertanyaan saya pribadi dalam Round Table ini sebetulnya standar aja sih sebagai blogger yang kadang ingin me-review makanan atau tempat makan. Bagaimana membuat tulisan kita objektif sementara kita punya subjektivitas semisal selera, taste preference, dll?

Mbak Lidia memberi masukan agar kita fokus cerita soal makanannya. Deskripsikan makanan dengan detail, bagaimana tampilannya, rasanya, tekstur, dan apa yang kita rasakan. Kita juga bisa bandingkan dengan pengalaman yang pernah kita rasakan sebelumnya.

Simpel saja, kalau tempat makan atau makanan tersebut cocok dengan selera kita, kasih compliment. Kalau nggak cocok, cukup ceritakan makanannya aja. Nggak perlu jelek-jelekin hal yang lain.

Jangan pula lupakan riset, supaya tidak tergantung testimoni pengalaman saja. Prawnche mencontohkan dia sendiri banyak memeriksa fact check di Google sebelum menulis. Hal ini untuk menghindari kesotoyan itu tadi, yang sebenarnya kita nggak tahu apa-apa tapi ingin komentar. 

Kalau menyampaikan pure opini, jangan lupa kasih pendahuluan “ini menurut aku…” sehingga, tulisan kita akan terbuka terhadap masukan dan koreksi, karena tentu saja istilah ‘menurut aku’ ini sangat subjektif dan belum tentu benar.

Empat hal yang harus diperhatikan dalam menulis review makanan/tempat makan: humility, modest. fact checking, validasi.

Wah beneran menulis review itu nggak asal nulis sih ya, apalagi soal makanan. Utamakan etiket, bahwa tulisan kita tidak bermaksud menjatuhkan usaha seseorang, mendiskreditkan sesuatu, atau membuat orang tidak ingin mencoba hal yang kita tidak sukai. Karena soal makanan ini kan balik ke selera ya. Kita tidak bisa memaksa orang mencoba atau tidak mencoba, pengalaman tiap orang akan berbeda-beda.

Karena tulisan kita saat ini di-publish dan dibaca oleh banyak orang dari berbagai kalangan, ya buatlah tulisan yang bijak, subjektif tapi berimbang, dan jangan lupa be a kind person.

So, seperti Mbak Lidia berkali-kali bilang: let’s just celebrate the good food!!
Next Post Previous Post
33 Comments
  • Okti Li
    Okti Li 10 Agustus 2021 pukul 21.36

    Etika dalam menulis review apalagi review dunia kuliner memang banyak point' yang harus diperhatikan. Jangan asal nulis apalagi menjatuhkan.
    Bayangkan kalau kita di pihak owner. Termasuk kita menulis yang apa adanya itu tadi tapi tetap dengan mengedepankan etika

    • Rella Sha
      Rella Sha 15 November 2021 pukul 16.08

      iya betul mbak, nggak mudah ternyata mereview makanan ya..ada do's and don'ts nya, begitu pula review hal lain... memberi masukkan tapi tidak menjatuhkan

  • dianisekaring
    dianisekaring 11 Agustus 2021 pukul 01.54

    Buatku, reviewer makanan yang paling sreg di hati sejauh ini adalah Alm. Bondan Winarno. Beliau detail sekali saat memberikan review, nggak sekadar "Enak, Mantap" sehingga penonton juga menjadi teredukasi. Untuk bisnis F&B memang harus banyak bersabar dalam menghadapi customer. Benar bahwa tidak semua masukan bisa ditampung, harus dipilah berdasarkan relevansinya.

    • Rella Sha
      Rella Sha 15 November 2021 pukul 16.09

      setuju.. gaya Pak Bondan paling santun dalam ngasih kritik dan masukan

  • Lina Sophy
    Lina Sophy 11 Agustus 2021 pukul 08.02

    Bener banget ini ya mbak, kalau mau review soal makanan emang harus dipikirkan betul dampaknya jangan sampai tulisan viral tapi disisi lain bisa saja menjatuhkan usaha orang lain, berlaku buat apapun siy ya mbak nggak hanya makanan. Seharusnya kekurangan disampaikan dengan bijak dan diberikan masukan buat kedepan.

  • Diah Alsa
    Diah Alsa 12 Agustus 2021 pukul 19.26

    noted niih Mbak, menulis review makanan dan juga produk lain terlebih lagi UMKM begitu memang harus ingat aturan dan etika juga sih, kan bisaa jadi gak sesuai selera kita padahal orang lain punya selera berbeda yang tidak bisa disamaratakan ya :)

    • Rella Sha
      Rella Sha 15 November 2021 pukul 16.10

      iya ini dilemanya mereview makanan, karena lidah tiap orang berbeda-beda

  • atiq - catatanatiqoh
    atiq - catatanatiqoh 14 Agustus 2021 pukul 14.40

    wah mbak, terima kasih sudah mengingatkan ya :) bener banget ini kadang kita main foto-foto aja, share ke sana kemari tanpa permisi yang punya bisnis, bisa jadi bagian dari promosi kalau kita kasih info yang bagus dan menarik, tp soal kritikan, kayanya memang lebih baik ke bagian penjualan saja ya :) kalau di share juga rasanya bisa mematikan rejeki :(

  • Unknown
    Unknown 14 Agustus 2021 pukul 17.50

    Hmm... jepret-makan-posting, biasanya untuk konten ya. wkwkw. Aku suka mikir, buat google map ini. Lumayan nampah poin dan lama-lama naik level #eeehhh wkwkkw

  • Hani S.
    Hani S. 15 November 2021 pukul 11.19

    Lagi-lagi, memang harus bijak saat komen, atau review sesuatu termasuk makanan ya. Ada etikanya yang harus kita jaga, wah aku jadi makin belajar nih do and don'ts-nya. Mengingatkan waktu dulu jadi CS di Perbankan, saat ada Nasabah komplain semarah apapun, harus tetap menanggapi sehalus mungkin dan giring ke situasi yang lebih kondusif.

  • nurul rahma
    nurul rahma 15 November 2021 pukul 15.43

    Enaknya sampaai mau meninggoyy, dulu sering bgt baca/lihat content creator yg komennya cem gini.
    Hadehh, beneran pengin tepok jidat!
    Memang seharusnya kudu bijak klo mau posting sesuatu, ya
    Jadi ingat Pak Bondan Winarno alm yg sooo inspiring di konten review kuliner

  • Ana Ike
    Ana Ike 15 November 2021 pukul 19.15

    Nah bener banget ni, mbak. Ini yang juga aku terapkan kalau review makanan atau apapun sih. Pasti aku sebutin, based on my opinion, menurut aku, di lidah aku, dll. Soalnya sering banget aku posting makanan yang menurut aku enak, eh dikomenin orang lain, ga enak lah, beda lah, gini lah, gitu lah, haha.
    Kalau semua Chef kaya Chef Vito, asik bener deh. Karena emang resto itu selain jual makanan, juga jual pelayanan. Jadi harus tahu cara ngadepin customer

  • Armita
    Armita 16 November 2021 pukul 09.58

    Baru tau ada diskusi meja bundar di zoom seperti ini dengan topik kuliner, wah sepertinya menarik ya. Apalagi hal yang dibahas dekat dengan kita sebagai penulis review.

  • Cindy Vania
    Cindy Vania 16 November 2021 pukul 16.08

    "Deskripsikan makanan dengan detail, bagaimana tampilannya, rasanya, tekstur, dan apa yang kita rasakan". bakal diinget deh ini buat kalau pas mau bikin review suatu tempat makan. nice banget dan iya loh kalau bekerja di hospitality kudu sabar banget yaa

  • tantiamelia.com
    tantiamelia.com 16 November 2021 pukul 17.10

    Once again, etika berkomentar - berbicara - sangat tergantung dari "how well they education at home" - artinya ya bukan rumah literally aja tapi juga lingkungan dimana dia besar dan berada

    Aku juga punya kenalan tante tante yang sengaja "ngerjain" pelayan resto - karena menunjukkan bahwa disitu dia superior dan tamu adalah Raja.
    kalo liat gitu aku becandain si tante - di depan pelayan - "Ada lagi gak tan, terus bilang ke si masnya, maaf ya mas, biar sekalian soalnya tante saya ini punya selera unik"

  • Indah Nuria Savitri
    Indah Nuria Savitri 17 November 2021 pukul 06.59

    aku sering banget mba buat review tempat yang aku datangi, karena memang aku kontributor untuk beberapa platform. Satu hal yang pasti, review aku buat dengan jujur dan dengan niat baik, buakn untuk menjatuhkan usaha tertentu

  • momtraveler
    momtraveler 17 November 2021 pukul 08.47

    Nah ini setuju banget sih bagaimana pun manner tetap harus dikedepankan ya mbak. Meskipun ada yg ga sreg di hati tetep harus disammpaikan dengan bahasa yg baik dna sopan

  • Firsty Ukhti Molyndi (Molzania)
    Firsty Ukhti Molyndi (Molzania) 17 November 2021 pukul 11.39

    terkadang kita memang mesti komplain, kadang klo langsung dicuekin. jadi ya di medsos biasanya lebih dipeduliin. pernah molly makan di restoran, tapi kurang bersih dan gak higienis. masak di botol kecap isinya lalat semua. komplain tapi orang restonya cuek bebek. jadi serba salah, untung gak sampe di medsos.

  • Milda Ini
    Milda Ini 17 November 2021 pukul 11.41

    Untuk review ini sangat berbeda dalam bentuk video atau blog/tulisan. Terlihat lebih mudah kalo lewat video, sulit digambarkan dengan tulisan, hehehe. terima kasih tipsnya yah

  • Lina W. Sasmita
    Lina W. Sasmita 17 November 2021 pukul 14.02

    Senang banget baca ulasan ini jadi paham ternyata memang kedua belah pihak harus saling rendah hati ya. Baik pihak resto maupun pihak tamu.

  • lendyagassi
    lendyagassi 17 November 2021 pukul 16.48

    Aku sering banget komentarin makanan di sebuah tempat makan, bukan untuk di posting, hanya untuk catatan bagiku kalau kembali ke tempat makan itu, aku harusnya pesen menu ini dan itu, jangan ini dan itu. Biar jadi langganan juga..

    Hehhe, maklum, akutu orangnya antara setia dan gak kreatif memang beda tipis yaak..
    Kalo uda suka makan di suatu tempat, balik-balik lagi ke situ

  • Witri Prasetyo Aji
    Witri Prasetyo Aji 17 November 2021 pukul 18.02

    Menurut aku, ngereview makanan itu sulit, sesuai selera. Ya kayak ngereview skincare, cocok di aku belum tentu cocok di kamu. Aku pernah sih ditanya temen tentang dagangannya, dan aku jawab ya menurut lidah aku kurangnya ini itu. Tetep, kukasih garis bawah, menurut aku dan selera orang beda2.

  • Artha
    Artha 17 November 2021 pukul 22.19

    Panacota itu yg diiklanin syahrini bukan sih? Sejenis agar2 gitu ya, puding2 gitu kan ya. Gak pake tepung sih kelihatannya, makanya jd terkesan lucu itu protesnya pelanggan. Saya jd pengen makan panacota #salahfokus

  • Sri Widiyastuti
    Sri Widiyastuti 17 November 2021 pukul 22.30

    Aduh aku kok jadi malu baca komennya pelanggan yang komplain soal Panna Cotta hihii bener banget mbak, jadi ngebayangin betapa beratnya kerja chef. dah nyediain makanan enak eh tetep dikomplen pula. Btw makasih sharing tentang review tempat makannya ya mbak, jadi dapat insight banyak setelah membacanya

  • Uniek Kaswarganti
    Uniek Kaswarganti 17 November 2021 pukul 23.21

    Aku nggak pernah tega bilang makanan tidak enak, apalagi sejujurnya buatku semua makanan tuh enak dan enak banget sepanjang tidak gosong ataupun terlalu mentah yaa.. Orang masak sesuatu tentu tidak bakalan sengaja bikin masakannya tidak enak kan yaa... pasti dibuat sepenuh hati. Soal selera aja kita suka atau tidak tuh, jadi sampaikan secara arif ketika mereview apabila menemukan makanan yang kurang sesuai dengan selera. Jangan sampai menjatuhkan mata pencaharian orang lain lah.

  • Rahmah 'Suka Nulis' Chemist
    Rahmah 'Suka Nulis' Chemist 18 November 2021 pukul 03.44

    Andaikan ini dibaca juga oleh pemilik cafe atau kedai kopi
    Soalnya tidak semua dari mereka yang mau memberikan izin pengunjungnya untuk foto-foto
    Padahal sebagai tukang jepret, sangat tertarik untuk abadikan momen

  • mardanurdin.com
    mardanurdin.com 19 November 2021 pukul 04.57

    Saya paling tidak bisa mereview makanan, pasti hasilnya semua makanan enak, hahaha.
    Selera saya omnivora, selama itu halal asyik-asyik saja. Satu lagi, saya tak bisa membedakan ini makanan pakai tepung atau tidak. Eh, kenapa tentang saya?
    Yaah begitulah. Makanya jarang sekali mereview makanan.
    Namun, saya salut kepada orang yang sangat menikmati satu makanan lalu bisa menjelaskan di mana letak enak dan kurang enaknya, sebab itu berarti dia memang tahu makanan itu. Asal tidak asal saja seperti yang dijelaskan dalam artikel ini. Karena rasa itu subyektif.

  • Nanik nara
    Nanik nara 19 November 2021 pukul 12.48

    Nah penting nih buat di catat, jadilah orang baik, agar kebaikan pula yang datang pada kita. Saya belum pernah sih mengulas makanan di resto, soalnya nggak pernah makan di resto hehehe... Palingan mengulas menu sarapan di hotel saja. Dan pasti pakai "cocok / tak cocok di lidah saya..."

  • Susi Susindra
    Susi Susindra 19 November 2021 pukul 15.56

    Saya baca semua catatannya dan membayangkan alangkah menariknya jika bisa ikut acara ini. Karena memang ya, sisi resto dan chef jarang dibahas oleh pereview. Dan menarik juga saat dikatakan "mungkin saat itu adalah apesnya resto".
    Saya kira itu benar. Karena resto tentu punya banyak pelanggan dan kalau ada yang pas ga enak/gosong/dll ya mungkin memang pas ga bagus aja.
    Soal rasa biasanya saya pakai kode, "resto ini cocok untuk yang suka makanan yang serba pedas," kalau pedasnya over, "tidak suka makanan asin" kalau tipe makanannya terlalu tawar bagi saya.
    SSetiap orang punya selera dan ga bisa pakai selera kita untuk bilang "ga enak".

  • Rina s
    Rina s 19 November 2021 pukul 22.42

    Benar mba review apapun harus tahu etika, jangan mengkritik tp menjatuhkan harus membangun dan dgn bahasa santun

  • Keina Rahardjo
    Keina Rahardjo 22 November 2021 pukul 00.37

    Emang agak tricky ya kalau mengulas makanan, karena ya masalah taste gitu loh, tiap lidah orang berbeda merasakannya, tapi kalau ada yang bener-bener ga bisa di tolerir tetep kudu ditulis sih tapi lebih diarahin sebagai kritik membangun bukan menjatuhkan supaya ada perbaikan dari pihak restonya.

  • Hikmah Khaerunnisa
    Hikmah Khaerunnisa 22 November 2021 pukul 10.56

    Setuju mba.. kenyamanan sih kalau aku. Paling males kalau ada pengamen.. ya itu sih kadang dipanggil jalan atau restoran yang gak tegas sama pengamen

  • Liza-fathia.com
    Liza-fathia.com 22 November 2021 pukul 15.56

    setuju. jangan karena review kita di medsos malah menjatuhkan usaha orang. kalau aku, kalau memang resto yg aku kunjungi ternyata ga sesuai ekspektasi ya udah aku ngomelnya ke keluargaku aja. enggak aku review. tapi kalau bagus, aku sangat mengapresiasikannya lewat medsos

Add Comment
comment url