Merawat Mata Air, Menjaga Pulau Jawa Tak Kehausan
Krisis air bersih sesungguhnya telah lama melanda Pulau Jawa. Sebuah studi monsun kekeringan di Jawa menggunakan Palmer Drought Severity Index (PDSI) menunjukkan bahwa Jawa telah mengalami fluktuasi kekeringan monsun sejak abad ke-20, dan periode kekeringan ekstrem kadang muncul terkait fenomena ENSO (El Niño/La Niña). Artinya, tekanan terhadap ketersediaan air sudah berlangsung lama, tapi baru terlihat sebagai 'krisis' yang dirasakan oleh masyarakat luas belakangan ini.
Namun, artikel “In Java, the water is running out” menyebut bahwa kekurangan air di Jawa sebagian besar bersifat buatan manusia, yaitu kombinasi antara perubahan iklim (musim kemarau lebih lama) dan aktivitas manusia (urbanisasi, penurunan daerah resapan, penggunaan air tanah) dan bahwa fenomena tersebut telah menjadi semakin nyata dalam beberapa dekade terakhir.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga akhir 2023, lebih dari 4,8 juta jiwa di Pulau Jawa terdampak kekeringan. Hampir 80 persen kabupaten dan kota melaporkan krisis air bersih. Sebagian besar wilayah kini hanya mengandalkan pasokan droping air yang datang tak tentu waktu.
![]() |
data https://data.bnpb.go.id/pages/kekeringan-pulau-jawa |
Tapi penyebab alami hanyalah salah satu. Ada andil besar manusia dalam krisis ini, yakni rusaknya sumber mata air akibat alih fungsi lahan dan deforestasi, hingga penggunaan air tanah secara berlebihan. Kerusakan tersebut menurunkan debit air hingga 70 persen di beberapa area.
Jaga Semesta, Rawat Mata Air sebagai Sumber Kehidupan
Gerakan yang Lahir dari Krisis
Bagi Fainta dan para relawan, fenomena ini bukan sekadar masalah teknis, tapi krisis moral dan sosial. “Air adalah warisan yang seharusnya dijaga bersama, bukan dikomodifikasi,” begitu kira-kira semangat yang mereka bawa. Maka Jaga Semesta memilih jalan berbeda: memulihkan sumber air dari akar masalahnya, bukan hanya membangun infrastruktur baru.
Dari Relawan ke Komunitas
Kini, Jaga Semesta tumbuh menjadi gerakan kolaboratif yang melibatkan lebih dari 290 relawan dengan keahlian beragam, dari mahasiswa, peneliti, hingga masyarakat desa. Melalui kanal digitalnya, gerakan ini juga punya lebih dari 70.000 pengikut yang aktif berbagi edukasi, cerita, dan dokumentasi lapangan.
Namun yang paling menarik adalah upaya mereka mengangkat kisah para penjaga mata air akar rumput yaitu petani, warga desa, atau tokoh adat yang selama ini bekerja dalam senyap menjaga sumber air tanpa sorotan media.
Restorasi Nyata, Dampak Nyata
Hasil kerja mereka tak berhenti di cerita. Data terakhir yang dipublikasikan mencatat bahwa Jaga Semesta telah memulihkan empat mata air utama dengan peningkatan debit total mencapai 157 juta liter per tahun.
Angka ini mungkin terlihat kecil dibanding skala krisis air di Jawa, tapi dampaknya besar bagi desa-desa di sekitar. Air yang kembali mengalir bukan sekadar angka statistik tapi kehidupan yang pulih, ladang yang kembali hijau, dan rasa harapan yang tumbuh lagi di hati masyarakat.
Apresiasi dan Pengakuan
Konsistensi dan dampak nyata ini membawa Jaga Semesta mendapat perhatian publik nasional. Pada Ajang SATU Indonesia Awards 2024 yang diselenggarakan Astra, inisiatif “Jaga Semesta: Mata Air demi Mata Air” menerima apresiasi di bidang Lingkungan, diwakili oleh Melisa Mina. Penghargaan ini diberikan atas kontribusi nyata dalam menjaga sumber air dan memberdayakan masyarakat desa melalui pendekatan berbasis komunitas.
Walau penghargaan diterima atas nama perwakilan regional, semangatnya tetap satu: melestarikan sumber air sebagai denyut kehidupan.
Menjaga Semesta, Satu Demi Satu Mata Air
Lebih dari sekadar proyek, Jaga Semesta adalah cara pandang baru terhadap relasi manusia dan alam. Ia mengingatkan bahwa menjaga bumi bukan pekerjaan raksasa, tapi rangkaian langkah kecil yang dilakukan dengan konsisten dan tulus.
Di tengah maraknya pembangunan dan gaya hidup konsumtif, Jaga Semesta hadir sebagai pengingat: bahwa air yang kita minum hari ini adalah hasil kerja panjang alam, dan tugas kita hanyalah menjaga agar ia terus mengalir, bagi generasi yang belum lahir.
“Jaga Semesta tidak sedang menyelamatkan bumi, mereka hanya membantu manusia mengingat kembali bagaimana caranya hidup selaras dengan bumi.”
#APA2025-PLM