Drama Sekolah Tiap Tahun itu Bernama Pemilihan Korlas

Bulan Juli tiba waktunya tahun ajaran baru, daaan ada satu tradisi yang selalu datang tanpa perlu diumumkan secara resmi: pemilihan koordinator kelas. Ini nggak tahu sih awal mulanya gimana, atau siapa yang ngide (pakai bahasa anak jaman sekarang).

Pokoknya begitu anak-anak saya sekolah, tradisi ini udah ada... dan saya nggak ingat waktu saya dulu sekolah ada apa tidak ya, kayaknya mungkin ada, tapi nggak seintens sekarang karena belum ada Whatsapp grup.

Momen menegangkan ini biasanya dibuka dengan sapaan ringan di WAG, entah yang isinya guru+wali murid atau yang isinya wali murid saja. Sehabis perkenalan masing-masing biasanya diakhiri dengan jeda hening yang mencurigakan. Semua orang tampak online, tapi tak satu pun mengetik.

Ah, ini sih sudah pasti sinyal dimulainya musim pemilihan peran sosial yang kadang lebih tegang dari seleksi Piala Dunia. 

Ritual Tahunan Bernama “Pemilihan”

Idealnya, komite sekolah itu terdiri dari orang-orang yang berada di luar lingkaran sekolah, sebagai pengawas atau penasehat, sehingga tidak ada clash of interest. Sedangkan korlas, adalah kordinator per kelas yang diampu oleh salah satu wali murid, yang kemudian tergabung dalam sebuah Paguyuban sekolah. 

Pemilihan korlas (koordinator kelas) dan komite sekolah bisa jadi komposisi dan mekanismenya beda-beda di tiap sekolah. Kendati begitu, sudah semacam drama sosial tahunan padahal mekanismenya jauh lebih sederhana daripada Pilkada, bahkan bisa jadi terlalu sederhana:

  • Pemilihan langsung di grup WA, tanpa diskusi panjang. Seseorang menyebut nama, lalu dibanjiri komentar “Setujuuu 🙌” atau “Mantap, Bu!”

  • Rekomendasi diam-diam dari guru, disampaikan dengan kalimat lembut seperti, “Kami harap ada orang tua yang bersedia aktif…” yang sebetulnya berarti: Silakan Anda, ya, Bu.

  • Undian atau rotasi, yang terlihat adil tapi tetap saja bisa membuat yang terpilih merasa seperti kalah arisan.

  • Popularitas, terutama jika ada sekelompok wali murid berasal dari TK yang sama. Cukup mengantongi 3-4 orang massa, bisa menggiring massa lainnya menyetujui nama yang diajukan. Biar cepet, yekaaaann. 

Yang menarik, hasil akhir dari semua itu biasanya ada aja satu nama yang akhirnya ‘terjebak’, meski dengan helaan napas dan senyum getir.

Kenapa Bisa Jadi Polemik?

Karena jadi korlas itu aslinya bukan cuma jadi perantara pesan. Tugasnya sering kali lebih kompleks daripada jabatan manajer proyek, misalnya:

  • Menyampaikan informasi sekolah ke 30-an wali murid, memastikan terbaca dan dipahami 

  • Mengingatkan dan menagih iuran kas, tentu saja jadi rekening penampung

  • Menginformasikan acara sekolah yang melibatkan orang tua, seperti rekreasi atau bazar sekolah 

  • Sampai menghidupkan whatsapp grup untuk meminta pendapat, dan partisipasi aktif dari semua wali murid (yang sejujurnya sering bikin gemaaasss).

Itulah kenapa, banyak wali murid memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu persis beban yang menyertai jabatan itu. Nggak ada bayarannya pula. 

Tidak semua orang punya waktu, energi, atau ketahanan mental untuk menghadapi 30 wali murid dengan karakter unik dalam satu kelas. Belum lagi kalau ada isu sensitif soal pungutan, sumbangan, atau perayaan, korlas dan komite bisa jadi sasaran samsak pertama. 

Polemik makin muncul kalau pemilihan dianggap tidak transparan, atau selalu jatuh ke orang yang “itu-itu saja”. Di sinilah muncul perdebatan soal peran orang tua dalam pendidikan anak vs. keterlibatan sosial yang tidak semua orang inginkan.

Jadi membingungkan nggak, sih? Ditunjuk nggak mau, mengajukan diri juga nggak mau, tapi kalau ditunjuk secara aklamasi juga banyak bisik-bisik tetangganya. Yhaa, begitulah seni bermasyarakat...  

Peran dan Manfaat Korlas 

Menurut saya, jangan dulu dianggap sinis keberadaan korlas atau pengurus kelas itu. Karena bisa jadi mereka sangat bermanfaat di saat-saat tertentu yang kita butuhkan. 

Seperti kordinir kostum dan bantu menyiapkan anak-anak saat ada pentas kelas. Saat rekreasi kita nggak bisa ikut, ada mama-mama yang bisa ditanya anak-anak sudah sampai mana untuk estimasi jemput, atau sekadar kolektifan misal beli apaa gitu untuk keperluan sekelas. Kalau malas nyari atau beli sendiri-sendiri, pasti ada mama-mama yang bisa diandalkan untuk titip beli. 

Buat working mom, mestinya sih berterima kasih banget ya ada jembatan informasi. Kalau buat sesama ibu rumah tangga juga bisa banget kolaborasi. 

Ada yang Tulus, Ada yang Terjebak

Ada banyak alasan kenapa ibu-ibu bersedia jadi korlas. Nggak usah dinyinyirin "kok mau-maunya sih jadi korlas", atau menganggapnya nggak ada kerjaan banget, pengangguran, atau pengen eksis apalah. 

Sure, saya sering menemukan celetukan-celetukan ini di Threads dan sosmed lainnya. Kordinator sekolah/paguyuban dilabeli kumpulan ibu rumah tangga gak ada kerjaan. Entah apa yang dilakukan korlas anaknya sampai mereka seapatis itu, tapi memang korlas tuh ada banyak jenisnya juga. 

Ada yang memang senang aktif jadi pengurus ini itu sehingga nggak bisa kalau diam saja melihat 'apa yang harusnya bisa diorganisir'. Ada yang cari kegiatan ketimbang gogoleran aja di rumah mending jadi bermanfaat sekalian antar jemput anak. Ada lagi yang senang bergaul, punya teman nongkrong sana-sini, eksis di semua acara sekolah. 

Semua valid kok alasannya. Yang penting tugas korlasnya berjalan aja, sesuai namanya: ngurusin kelas. 

Saya pernah tanya ke seorang teman yang jadi korlas dengan semangat, padahal dia working mom dan punya tiga anak. Dia menjawab, “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau? Anggap saja ini bagian dari mendampingi anak. Lagipula, aku suka ikut-ikut ginian.”

Ada juga yang ambisius ingin selalu jadi korlas di semua jenjang anaknya. Harus jadi ketua pokoknya! Entah karena doyan ngatur atau punya pengaruh, atau ada motif bisnis di baliknya. Pokoknya dia harus jadi center yang ngatur kelas. 

Namun di sisi lain, saya juga pernah menemukan ibu-ibu yang baru pindah dari kota besar, dari sekolah di kota yang karakternya aktif dan kritis, pindah ke sekolah di daerah malah “ditodong” jadi komite karena dianggap “berani dan kelihatan aktif”.

“Padahal aku cuma rajin baca chat dan bertanya, biar nggak ketinggalan. Kan aku baru di sini,” katanya pasrah. Kelihatannya sih ini lebih 'dijerumuskan' ya ketimbang benar-benar dipilih. 

Saya sendiri, selama jadi kordinator kelas di angkatan 12 dan angkatan 14 di SD anak-anak saya, nggak jauh beda sama ibu yang di atas ini, wkwkwk. Sebagai pendatang, wajar kalau banyak tanya, dan mau nanya ke siapa lagi, kan, selain langsung ke grup? Tapi dianggapnya yang aktif-aktif ini cocok untuk "ditumbalkan", hahahaha. 

Kebetulan aja sudah biasa berorganisasi/berkomunitas kan, jadi nggak gagap-gagap amat lah meski nggak punya massa karena nggak punya geng teman lama kayak ibu-ibu lain. Mulai dari awal dan asing, yasudah gimana lagi  ^_^

Haruskah Semua Orang Tahu Diri?

Idealnya, semua orang tua terlibat aktif dalam kegiatan sekolah. Tapi realitanya tidak semua punya kapasitas yang sama. Ada yang bisa bantu tenaga, ada yang bisa bantu dana, ada yang cukup bantu memberi respon baik dengan tidak mengeluh terus-menerus di grup.

Sesederhana memilih suvenir untuk anak-anak, kalau korlasnya minta tolong polling pilihan ya mbok ikut memilihkan, dengan kasih pertimbangan. Korlas tuh pasti bingung mau mutusin sendiri nggak mungkin, tapi nunggu masukan ibu-ibu kadang lamaaa banget didiemin. Sedih dan capek, lho, buuu.... 

Mungkin sebetulnya yang dibutuhkan organisasi wali murid ini bukan sekadar korlas dan komite baru, tapi kultur baru: kerja sama orang tua yang setara, saling mendukung, tanpa harus menjadikan satu atau dua orang sebagai tokoh sentral.

Biasanya kalau semua wali murid bisa berpartisipasi setara, nggak akan ada orang-orang yang 'mendadak ngartis' atau jadi si paling sibuk sedunia. 

Tips Pemilihan Korlas 

Kalau kamu kebetulan jadi bagian dari tim sekolah atau pengurus komite yang baru, mungkin tips ini bisa membantu proses pemilihan agar lebih sehat dan adil:

  1. Libatkan semua orang dari awal, bukan dadakan dan bukan karena “kelihatannya cocok”.

  2. Gunakan polling atau voting kecil, biar semua punya suara dan rasa memiliki.

  3. Jelaskan tugas dan peran secara terbuka, supaya yang terpilih tahu apa yang akan dijalani.

  4. Bagi peran dalam tim, bukan hanya satu orang yang bekerja, sementara yang lain diam-diam menonton (ssstt, mending kalau nonton aja, kadang sambil dighibahin

Idealnya sih ya, ketika sudah ada korlas terpilih, ya sudah, wali murid komit semua untuk membantu korlas tersebut. Bantuan bisa berupa apa pun, baik masukan, tanggapan, dana, tenaga. 

Hargai kesediaannya untuk mengordinir kelas yang tidak mudah ini. Kelas yang diampu kan ada anak kita juga di dalamnya. Jadi anggap aja kita sedang ikut mengasuh anak kita dan teman-temannya. 

Tips Survive jadi Korlas

Buat ibu-ibu yang terpilih jadi korlas tahun ini, selamat dan semangat yaaa. Jangan mudah terpengaruh sama bisik-bisik wali murid atau siapa pun yang punya kepentingan pribadi, dan jangan terpacu untuk berkompetisi dengan kelas-kelas sebelah. Percayalah, itu nyebeliiinnn... 

Sisa periode saya tinggal 2 tahun lagi jadi korlas si anak ketiga yang sekarang kelas 5. Rasanya sekarang pengin jadi warga yang tak terlihat aja, kalau kata Sunglow Mama Blog

Sejak anak sulung SMP, saya tidak ambil bagian apa-apa lagi dalam kepengurusan kelas. Selain mobilitas juga tidak fleksibel (jarak rumah-sekolah jauh, punya toddler), yaa rasanya sih mikirin satu anak abege aja sudah pusing banget. Nggak sempat lagi mikirin anak orang. 

Saya juga nggak tahu selama ini sudah cukup baik jadi korlas atau belum. Saya cuma sangat berterima kasih pada ibu-ibu wali murid yang kooperatif ketika diminta masukan dan bantuan. Kerja sama  inilah yang bikin kerja korlas jadi lebih ringan. Nggak cuma saya sendirian yang sibuk, tapi kita semua mengasuh anak sama-sama. 

Saya sekarang meluangkan waktu buat lebih banyak buat menulis dan back on track, kebetulan banyak kan tips journaling untuk ibu sibuk

Pemilihan koordinator kelas dan komite sekolah bukan kompetisi, bukan jebakan, dan bukan tugas abadi. Tapi sayangnya, kadang-kadang kita memperlakukannya seperti itu.

Kalau kita bisa membangun rasa tanggung jawab bersama, tidak perlu lagi ada drama di balik “siapa yang jadi korlas tahun ini”. Dan yang terpenting, tidak perlu lagi ada wajah lelah di balik senyuman palsu saat menerima jabatan.

Karena jadi orang tua di era sekarang sudah cukup kompleks. Jangan sampai kegiatan sekolah jadi tambahan tekanan, padahal seharusnya jadi ruang tumbuh bersama.

Next Post Previous Post
23 Comments
  • Dee_Arif
    Dee_Arif 22 Juli 2025 pukul 08.34

    Aduh, mbak Rella aja sudah mengalami tiap tahun ya
    Aku nampaknya ini akan jadi tahun pertama, bagaimana ada pemilihan korlas dan komite
    Semogga berjalan smooth, nggak banyak drama..

  • Dyah Kusuma
    Dyah Kusuma 22 Juli 2025 pukul 08.58

    Super melelahkan, tahun lalu aku korlas di kelas anakku yang tengah, asli capeknya, untungnya ada beberapa mama yang mau bantu jadi aku ga kerepotan sendirian, secara aku kan juga kerja ya

  • dinda
    dinda 22 Juli 2025 pukul 13.54

    Hahaha... ini pernah terjadi satu tahun yang lalu mbak El...
    Tapi aku mundur. Pengalaman sebelumnya tuh pas anakku TK A, merasa ditumbalkan dengan menjadi koordinator eksul menggambar, hanya karena satu alasan sepele, "nanyanya detail beud." padahal ya tujuannya nanya perkara biar anakku tuh nggak gupuh ae pas acara. Lha kok pas pemilihan langsung disodorin nama begitu... Hahaha.. Untung cuma satu tahun.

    Jujur aku lebih prefer jadi anggota aja sih, alias jadi check and balance kegiatan kelas. Meskipun ada positifnya juga jadi korlas kek misal kita tahu acara ABC bakal bikin anggaran mbledos, bisa kita sounding tipis-tipis buat alternatifnya. Hehehe.. :D

  • fanny Nila (dcatqueen.com)
    fanny Nila (dcatqueen.com) 22 Juli 2025 pukul 19.27

    Aku tuh bingung mbak . Zaman aku sekolah, dari TK - SMU ga ada yg namanya wakorlas, boro2 di mana sibuk begini. Datang ke sekolah aja ga pernah 🤣🤣. Bendahara kelas, ya murid2 yg pegang. Sekretaris kelas, juga murid. Kalo ada acara atau apapun, ya murid yg koordinir.

    Makanya pas ada anak, kenapa jadi emaknya ikutan 🤣🤣.

    Aku sudah pasti ga akan mau dipilih. Datang ke sekolah anak aja aku ga sempet. Tapiiii siapapun yg terpilih, aku pasti support dari sisi uang biasanya. Kalo ada acara, aku nyumbang gedean. Urus deh semua. Untungnya ibu2 itu ngerti.

    Tapi semoga si Kaka baru masuk SMP, kepengennya jangan ada lagi begini. Kemarin kata gurunya wakorlas ditiadakan. Hrsnya sih begitu, biar anak2 itu yg mulai urus diri sendiri

    • Fajarwalker.com
      Fajarwalker.com 23 Juli 2025 pukul 12.50

      Eh iya setuju lhoo sama mbak Fanny. Daritadi aku baca artikel ini tuh langsung berasa ngang ngeng ngong. Kayak.. "Lho? Korlas? Apalagi itu?", Dan makin dibaca tuh malah makin heran sendiri, kok sekarang orang tua malah jadi dikasih beban yhaaa. Padahal seingatku pas zaman sekolah dulu tuh gak ada lhoo macem begini-beginian. Toh, di kelas kan biasanya sudah ada tuh yang 'ditumbalkan' jadi Ketua Kelas, Sekretaris dan Bendahara.

      Berhubung karakterku yang detil dan terorganisir, kayaknya kalo sampe ikut terlibat pastilah daku diminta jadi korlap, wkwkwk. Tapi berhubung biasanya ini mah sama Bunda-bunda.. jadi biarkanlah nanti istriku yang merasakan, hahaha

  • Cemil
    Cemil 23 Juli 2025 pukul 13.03

    Silent is gold. Aky lebih suka jd pengamat aja di WA grup kelas anak² biar gak dikira aktif wkwkwk. Alhamdulillah gak pernah kecemplung. Cuma pernah sekali diminta keikutsertaannya jd panitia perpisahan. Yaa selama bukan ketua, ok lah wktu itu.

    Tp mmg ada aja ya ternyata ortu yg sengaja pingin tampil sebagai korlas. Aku amati sih orang ky gitu bukan cuma ttg dirinya, tapi supaya anaknya "terkenal" di sekolah

  • Fenni Bungsu
    Fenni Bungsu 23 Juli 2025 pukul 19.08

    Jadi korlas ternyata multitasking-nya udah tingkat dewa ya Kak Rel..
    Daku cuma nyimak aja ketika kakak daku ngomongin korlasnya haha, tapi pernah katanya dapat yang gak wokeh.
    Bidang persekolahan gini gak hanya soal kurikulum aja yang rame, urusan korlas pun sama geregetnya ya

  • Ria Tumimomor
    Ria Tumimomor 23 Juli 2025 pukul 19.48

    Jaman skrg memang ngerik sih kl udah jadi koordinator. Apalagi dalam satu group ada 30 org yg personality-nya beda2, dan ada aja pasti yg bikin stress. Saya plg ga suka kl sdh ada WAG gitu dan masih ngeles; kok gk adda yg kasih tau, ih mana saya baca. And so on. Jadi saya gak heran sih kl sebisa mungkin pd males jd koordinator. Kalaupun males plg gak support lah ya.

  • Nik Sukacita
    Nik Sukacita 24 Juli 2025 pukul 10.28

    Penutupnya tulisannya epic banget. Semoga saja makin banyak wali kelas murid sadar bahwa kehidupan bersekolah sekarang itu menuntu energi besar, jadi sebaiknya soal kepentingan bersama dikerjakan bersama.

    Menjadi setara. Walau memang dibutuhkan juga seorang pemimpin untuk mengatur supaya lebih memudahkan, bukan menjadikan tumbal dan jadi bahan bisikin pelipur ego.

    Jadi inget karakter bangsa kita 'Gotong Royong" makin memudar dan sepertinya perlu banget di siarkan kembali dengan sebaik-baiknya.

  • Andina
    Andina 24 Juli 2025 pukul 11.00

    Masalah korlas ini unik juga ya. Butuh ga butuh. Paling enak dipilih seperti tips di atas deh, polling atau diskusi bersama.

    Ada kenalan yang pas jadi korlas meniadakan iuran. Katanya malah pada lega. Ada iuran kalau ada kebutuhan aja

  • nurul rahma
    nurul rahma 24 Juli 2025 pukul 18.53

    Korlas memang rentan dibenci wali murid...tapi yha sebenernya dibutuhkan 🤣 Rentan Dibenci, kenapaa? Karena terkadang menetapkan besaran iuran berdasarkan PoV mereka dewe, ini krasa bgt d SMA anakku, karenaaa korlas adalah owner Resto Legendaris di Surabaya, makaaaa iuran wali murid bs mencapai besaran (total) hampir 2 jutaan (utk 1 siswa selama SMA) 🤣🫣

    yhaa mungkin buat blio enteng ...tapi walimurid lain kan blm tentu

    namun , sebagaimana netyjen NKRI pd umumnya, saya jg ogah memicu keributan. jadi sami'na wa atho'na. Sambat nya di kolom komen ini aja, hahahahaha

  • Rahmah 'Suka Nulis' Chemist
    Rahmah 'Suka Nulis' Chemist 24 Juli 2025 pukul 22.39

    Jujur saja, sejak tahun kemarin aku "cegek" dengan pemilihan ini
    Ternyata gak berjalan sesuai fungsi
    Malah dijadikan bahan untuk dijauhi dan dirasani habis habisan
    Makanya aku mending mundur dan tidak mau banyak bersuara lagi karena diam dan pelan-pelan cari info sekolah dengan tenang itu lebih baik

  • Bunda Saladin
    Bunda Saladin 24 Juli 2025 pukul 22.50

    Korlas ini hanya ada di sekolah negeri atau swasta juga ya, Mbak Rell? Kelihatan ribett banget kerjaannya. Apalagi menghadapi puluhan ibu lain dengan karakter yang berbeda. Bisa puyeng banget.
    Tapi keberadaan Korlas emang penting juga karena jadi penyambung antara sekolah dan wali murid. Jadi ini semacam ketua kelas bagi para wali murid gituu?

  • Bambang Irwanto
    Bambang Irwanto 25 Juli 2025 pukul 00.35

    Dari cerita di atas, jadi korlas itu melelahkan ya Mbak. Capek tenaga dan bisa capek hati. Soalnya banyak kepala dan kepribadian yang dihadapi. Misalnya adik ipar saya cerita pas keponakan saya mau perpisahan. Di awal sudah ditentukan hadiah buat guru sekian, sudah deal semua kok ujungnya ada bisik-bisik tetangga. Dan biasanya yang begitu yang suka menjerumuskan teman jadi korlas giliran dia ditunjuk tidak mau haha

  • Heni Hikmayani Fauzia
    Heni Hikmayani Fauzia 25 Juli 2025 pukul 04.24

    Saya sendiri belum pernah jadi Korlas, tapi sepengalaman saya dengan adanya korlas semua urusan jadi simpel dan lebih ringan karena ada yang mengurusi yaa ibu dan bapak korlas ini laah yang maju. Saya sih mengapresiasi lhoo dengan kehadiran korlas ini dan jangan salah gak semua korlas itu ibu IRT full karena banyak juga yang pekerja dan moompreuneur yang juga sibuk dengan pekerjaannya namun ikhlas menyisihkan waktu untuk menjadi Korlas.

  • lendyagassi
    lendyagassi 25 Juli 2025 pukul 05.35

    Aku termasuk volunteer korlas sebenernyaaa..
    Tapiii pas anak-anak SD, gak ada korlas-korlasan.. ((karena sekolah baru dan ketua yayasan menganggap kalo ada korlas berarti bakalan sering adanya campur tangan orangtua dan rawan menerima kritikan, hahahaa)), akhirnya kita ngadain komite pengajian aja.. namanya MISc (Mother Islamic School, karena nama sekolahnya Bandung Islamic School).

    Begitu juga pas anak-anak SMP kaya skarang ini...
    Uda ngajuin diri jadi korlas, tapii.. DITOLAK.

    Perkara posisi aku di Bandung, sekolah anak-anak di Depok.
    Jadi, bener.
    Aku teh kudu SADAR DIRI.

    Kalo gak wayahna ikutan ubyak-ubyuk emak-emak remfong mengurus kebutuhan dan aktivitas mendukung sekolah ananda.

  • April Hamsa
    April Hamsa 25 Juli 2025 pukul 05.47

    Waktu anakku masih di sekolah formal, aku pernah jadi korlas, tujuannya supaya ortu2 itu gak aneh2 narikin iuran2, jd aku aja yang ngatur. Eh pas ada event2, ternyata ada aja ortu ngide ngasi kado emas lha, apa lha, hahaha, ampun dije aku muak banget. Padahal aku korlasnya, tapi mayoritas seneng tu gitu2 =))
    Setelah gak di sekolah formal lagi gak ada korlas2an, alhamdulillah. Tapi kalau ada event dan keperluan apapun dikoordinir satu pintu oleh guru atau CS sekolah.
    Ortu tugasnya cuma nganter jemput anak, sesekali doank bersosialisasinya. Grup WA hanya buat tukeran foto saat ada event aja. selebihnya sepiii :D
    Jujurly aku lebih suka gak ada korlas, apalagi kalau ada yang ngide suka bikin iuran atau event yang sebenarnya gak ada hubungannya sama pendidikan anak, pemborosan uang dan buang2 waktu =))
    Tapi ya ini kyknya tergantung masing2 warga di grup sekolah masing2. Ada juga yang korlas emang berguna dan membantu ortu banget. Tapi balik lagi aku lebih suka sekolah aja yang berwenang menyam…

  • alienda
    alienda 25 Juli 2025 pukul 07.01

    Ini ya aku tuh kalau gak baca obrolan di grup DC atau nonton content creator yang bahas korlas tea, aku ga akan ngeuh kalau wali murid yang ngurusin kelas dan menjembatani antara wali murid lain ke wali kelas itu, sebutannya adalah korlas, heuheu..
    Mungkin kalau sekarang belum memungkinkan juga buat aku bersinggungan dengan kesibukan macam itu.. Ke sekolah aja jaraaang.. urusan studi anak paling tektokan langsung sama wali kelas..
    kongkow sama wali murid paling keitung jari di acara acara besar aja heuheu

  • adeuny
    adeuny 25 Juli 2025 pukul 07.23

    jujur aku jarang banget ke sekolah, karena yang antar jemput anak anak juga suami... jadi menurutku korlas ini cukup membantu. cuma mungkin ada awal2 kress antar wali murid kayaknya ya wajar aja sih, tapi ga sampe yang gimana gimana..
    aku? pilih jadi anggota saja hehehe

  • Dee_Arif
    Dee_Arif 25 Juli 2025 pukul 08.10

    Emang banyak yang bilang, proses pemilihan korlas ini penuh drama ya mbak
    Sampai saat ini, di sekolah Chacha belum ada pembahasan soal Korlas
    Hmm mungkin masih bulan depan kayanya

  • Lala
    Lala 25 Juli 2025 pukul 08.32

    Ternyata menjadi korlas tugas dan tanggung jawabnya besar sekali ya mba. Aku salut banget sama ibu yang bersedia jadi korlas. Nggak kebayang ribet dan repotnya ngerjain banyak hal dan lillahitaala pula. Semoga banyak rezekinya dan bisa menjalankan tugas serta amanah sebaik mungkin buat para korlas, aamiin.

    Maklum zaman aku sekolah belum ada korlas dan saat ini aku belum berkesempatan menjadi ortu jadi baru paham terkait korlas lewat artikel mba.

  • Diah Kusumastuti
    Diah Kusumastuti 25 Juli 2025 pukul 14.50

    Aku termasuk orang yang diem di bawah "huru-hara" korlas atau apalah istilahnya (kalau di sekolah anak2ku yg TK-SD namanya paguyuban). Males aja ikut campur. Lebih suka setuju setuju aja, hehe. Selain aku emang kurang capable, ya, kurang suka aja kalau ortu terlalu ikut campur urusan sekolah anak.
    Tapi aku selalu support sih siapa aja yg jadi ketua, sekretaris, dan bendahara :)

  • Ainun
    Ainun 27 Juli 2025 pukul 11.06

    Aku baru tau ada wakorlas dari walimurid. Kirain malah koordinator kelas tiap kelas yang diambil dari siswanya.
    Kalau udah jadi koordinator apapun itu, mendengarnya terkesan berat dengan tanggung jawabnya
    Apalahi korlas dari wali murid yang membernya banyak banget, untuk minta pendapat biasanya juga butuh waktu lama

Add Comment
comment url