Berebut Ingin Jadi Trophy Wife, Juara Banget Gitu?

Jujur aja belakangan ini resah sering denger perempuan bilang pengin jadi "trophy wife" dan menjadikan hal itu seolah-olah sebuah pencapaian hidup.  

Fenomena “trophy wife” kini jadi bahan obrolan hangat di media sosial, seakan-akan menjadi istri yang cantik, glamor, dan dinafkahi penuh adalah pencapaian hidup yang patut diimpikan. Padahal, secara historis istilah ini punya makna yang cenderung merendahkan perempuan karena menurunkan nilai diri hanya pada penampilan dan status pasangan. 

Di tengah banjir konten glamor, penting untuk melihat bagaimana media sosial ikut “memoles” istilah bernada negatif ini hingga tampak manis dan bisa diterima.

Apa Sebenarnya Trophy Wife?

Secara klasik, “trophy wife” menggambarkan istri yang biasanya lebih muda kinyis-kinyis, sangat menarik secara fisik, dan dinikahi pria yang lebih tua, kaya, serta berpengaruh sebagai simbol status sosialnya. 

Istri diperlakukan layaknya trofi; dipamerkan agar orang lain melihat betapa sukses sang suami, bukan karena kualitas diri istri sebagai individu yang utuh. Akar konsep ini bisa ditelusuri dari tradisi lama ketika kemenangan pria diukur lewat “hadiah” berupa perempuan cantik, lalu bertransformasi dalam masyarakat modern lewat standar kecantikan, kekayaan, dan kelas sosial. Dalam banyak kajian, istilah ini jelas membawa stigma: perempuan dianggap lemah, tergantung secara finansial, dan seolah tidak punya nilai di luar tubuh dan penampilannya. ​

Dari Istilah Merendahkan ke Identitas “Tujuan Hidup”

Yang menarik, sebagian perempuan modern justru memilih mengadopsi label ini dan memberinya makna baru. Alih-alih merasa dilecehkan, mereka melihat “trophy wife” sebagai bentuk “hadiah” atas kerja keras merawat diri, mengembangkan daya tarik, dan menjaga kualitas hidup yang mereka inginkan. 

Narasi yang berkembang bukan lagi “perempuan cantik yang pasif”, melainkan sosok yang cerdas mengelola hidup: memilih pasangan stabil secara finansial, sementara dirinya bisa fokus pada keluarga, minat pribadi, atau usaha kreatif tanpa tekanan kerja kantoran. 

Dalam perspektif ini, peran istri yang cantik, terawat, dan tersedia secara emosional dilihat sebagai kontribusi sah dalam hubungan, meski tetap dibayar dengan ketimpangan kuasa ekonomi. Istilahnya, suami adalah provider full hidup mereka. ​

Peran Besar Media Sosial dalam Mengilustrasikan “Ideal”

Media sosial menjadi panggung utama yang mengubah citra trophy wife dari istilah bernada sinis menjadi gaya hidup yang tampak menggiurkan. Konten-konten yang viral biasanya menonjolkan sisi manis seperti outfit branded, nongkrong di kafe mahal, liburan ke luar negeri, diantar jemput mobil mewah, hingga rumah besar yang rapi dengan bantuan ART. 

Visual seperti ini membentuk imajinasi bahwa menjadi istri yang “cantik dan menyenangkan” sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan hidup nyaman, sehingga jargon trophy wife terasa seperti promosi, bukan peringatan. 

Di Indonesia, artikel dan konten edukatif pun sering menjelaskan istilah ini dengan menekankan sisi “simbol status” dan gaya hidup mapan, sehingga konotasi negatifnya makin samar bagi generasi muda yang lebih dulu tertarik pada visual ketimbang sejarah istilah. 

Malah sekarang banyak digembar-gemborkan feminine energy untuk menggaet pria provider, ah elaaahh... ​Perlu terapis energetik kayaknya buat raising awareness bahwa feminine energy mestinya digunakan pada tempatnya, bukan buat menye-menye. 

Glamor yang Menyembunyikan Risiko

Di balik tampilan sempurna, ada sisi gelap yang jauh lebih jarang disorot. Banyak testimoni menunjukkan pengalaman menjadi “trophy wife” bisa terasa dehumanisasi, yaitu dipandang hanya sebagai pajangan, ditekan untuk selalu langsing, cantik, dan patuh, hingga kehilangan suara dalam pengambilan keputusan penting. 

Dalam hubungan yang sangat timpang secara finansial, posisi tawar perempuan juga rentan; jika pasangan berhenti merasa “bangga” atau menemukan “trofi” baru, kedudukan istri menjadi rapuh.

Namun narasi seperti ini tidak mudah viral karena tidak seindah feed penuh tas branded, dan di sinilah masalah utama: media sosial mengangkat sisi glamor, tetapi mengubur sisi getir di balik layar. 

Maklum aja, di negara berkembang seperti kita yang masih mencari jati diri, masyarakatnya mudah silau dengan hal-hal glamour yang bisa didapat dengan less kerja keras. 

Padahal kenyataanya hidup tak seindah makan malam di resto fine dining, banyak getir yang dirasakan jauh lebih banyak perempuan yang tadinya bangga dengan status trophy wife. 

Normalisasi dan Pergeseran Makna di Masyarakat

Penelitian di Indonesia menemukan bahwa kalangan perempuan muda cenderung memaknai trophy wife lebih positif dibandingkan generasi sebelumnya, terutama jika terpapar konten yang membingkainya sebagai bentuk privilese dan self-care. 

Mereka melihatnya sebagai “upgrade hidup” dibanding kerja keras tanpa akhir, bukan sebagai penyerahan diri pada patriarki. 

Di saat yang sama, konsep ini juga mulai melebar menjadi “trophy spouse”, di mana kedua belah pihak saling menampilkan diri sebagai pasangan yang pantas dibanggakan baik dari sisi fisik maupun status ekonomi. Namun, meski secara teori lebih setara, praktiknya tetap sering menempatkan perempuan pada tekanan penampilan yang jauh lebih besar daripada laki-laki.​

Menghadapi Narasi Sosmed dengan Kritis

Pada akhirnya, masalah utamanya bukan semata keinginan kenyamanan atau hidup berkecukupan (itu sih wajar dan manusiawi ya), melainkan bagaimana media sosial memoles konsep yang historisnya merendahkan perempuan menjadi tampak sepenuhnya positif tanpa ruang kritik. 

Glamor yang terus-menerus disebar membuat banyak perempuan membandingkan hidup mereka dengan standar ilusi, kemudian merasa “kurang” jika tidak bisa mencapai gaya hidup ala trophy wife versi Instagram. 

Perlu kacamata kritis untuk membedakan antara pilihan sadar yang mempertimbangkan risiko dan narasi satu arah yang hanya menjual mimpi. Salah-salah, hal ini bisa sangat memengaruhi kesehatan mental para perempuan bahkan sebelum menjalani perannya sebagai istri. 

Memahami bahwa istilah ini lahir dari pandangan objektifikasi membantu perempuan menyadari bahwa nilai diri tidak berhenti di wajah cantik dan cincin mahal, sekalipun media sosial mencoba meyakinkan sebaliknya.

    Previous Post
    No Comment
    Add Comment
    comment url