Perlukah Mainan Sesuai Gender?



Pernah nggak sengaja, saya baca suatu berita di kanal internet, isinya kurang lebih seperti ini :  
Perdana Menteri Australia Tonny Abbott, mengatakan bahwa harus ada spesifikasi jelas mainan untuk anak laki-laki dan perempuan. "Biarkan anak laki-laki dan perempuan menggunakan mainan sesuai dengan gender mereka," kata Abbott dalam sebuah debat tentang mainan khusus berdasarkan jenis kelamin tertentu dalam menyambut Natal.

"Saya berpandangan seharusnya kita membiarkan anak laki-laki jadi anak laki-laki dan anak perempuan jadi anak perempuan, namun membiarkan para orang tua melakukan apa yang mereka pandang baik bagi anak-anaknya adalah diatas segalanya," kata Abbott, seorang konservatif yang membesarkan tiga putrinya itu.

http://health.liputan6.com/read/2141798/pm-australia-beri-anak-mainan-sesuai-gender

Lalu saya jadi ingat, kapan hari itu, Ali, saat umurnya belum genap 5 tahun, menghampiri saya yang lagi baca buku di kamar. “ Bu, nanti kalo ke Malang, dede beliin ibu mainan perempuan ya, biar ibu bisa main juga”. Saya, jelas terkesiap dengan pernyataan itu, ih kok bisa sih anak ini mikir sampe segitunya? 

“ oh, memangnya dede mau beliin ibu mainan apa? “ pancing saya lagi masih terkesima. 
“ dede gak tau, pokoknya ibu beli mainan perempuan, gituu “

Ooh baiklah, anak ini taunya pokoknya mainan yang dia mainkan itu tidak cocok buat ibunya yang berjenis kelamin perempuan...atau...karena ibunya gak pernah ikutan main bersama ya? Hiks….tamparan keraass, jenderaal. 

Jadi mikir, dikotomi mainan berdasarkan gender ini sebaiknya dimulai kapan, sih? Bukankah kalau soal lifeskill itu genderless? Lalu, mainan kan sesungguhnya adalah mini model dari lifeskill? 

Pertanyaan yang nggak ada habisnya, buRel….bisa gak santai aja dikit biar uban gak nambah banyak. 

Kalau di buku Fitrah Based Education, pemisahan mainan ini bisa dimulai sejak fase kedua pra latih, yaitu usia 7-10 tahun saat anak didekatkan dengan orangtua sesuai jenis kelaminnya. Tujuannya untuk semakin mengasah identitas gender mereka. Apakah berarti dilarang bermain lintas gender? Tentu saja tidak. Saran terbaik adalah orangtua tidak perlu panik jika anak bermain hal-hal yang dilihat sebagai penyimpangan gender. 

Suatu hari juga saya pernah membelikan si bungsu mainan masak-masakan.Isinya cuman kompor, wajan, panci dan sutil. Duarebuan doang, bukan yang kece kaya di Toys Kingdom kok. Lucu aja sih lihatnya saat dia nyerokin pasir buat ‘digoreng’, trus menyajikannya dengan sendok dan pura-pura makan. Itu kan normal banget, urutannya juga bener artinya nalarnya jalan dong. Kemampuan ini  adalah bekal mengarungi hidup. Saya rasa nggak ada yang salah, pun ketika dia memfungsikan boneka sebagai pasien saat main operasi-operasian, atau sebagai para penumpang kereta api yang notabene kenyataannya juga terdiri dari dua macam jenis kelamin, kan?       

Ujaran Tony Abbott di atas bisa jadi benar, “membiarkan para orangtua melakukan apa yang terbaik bagi anak-anaknya”, ini berarti, orangtuanya harus teredukasi duluan. Salah satu penyebab terjadi penyimpangan adalah ternyata orangtuanya sendiri yang melakukan pengasuhan menyimpang, memakaikan jilbab ke anak laki-laki misalnya, yang jelas-jelas jilbab merupakan pembeda antara laki-laki dan perempuan dalam islam. Atau ada anak perempuan yang alergi banget sama hal-hal domestik lalu dibiarkan, tidak dilatih, akibatnya bisa nanti dia gagap peran atau memang tidak bangkit fitrah feminitasnya. 

Inget salah satu kutipan presentasi kelompok waktu kuliah Bunsay, fitrah (yang merupakan bibit dari sanaNya), haruslah dipupuk, dirawat dan didukung oleh lingkungan sehingga dapat bangkit maksimal. It takes a village to raise a child, again. 

#CatatanSenggang #OneDayOnePost 
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url